Kali ini, saya hanya akan membahas salah satu cerpen di buku kumpulan cerpen Edgar Allan Poe yang baru saja terbit.
Dari tujuh cerpen di dalamnya, saya hanya akan membahas cerpen ketujuh yang berjudul “Obrolan Bersama Sesosok Mumi”.
Sekumpulan dokter dan peneliti mendapat izin untuk membedah mumi. Setelah berhasil membuka peti, mereka menemukan mumi yang masih utuh. Karena hari sudah terlalu larut, mereka memutuskan untuk pulang dan melanjutkan penelitian esok. Sebelum pulang, iseng, salah satu dari mereka mengusulkan untuk menyetrum mumi itu. Melihat gerakan-gerakan yang tercipta, mereka lanjutkan dengan menyobek kulit mumi itu sedikit, lalu lanjut menyetrum. Akhirnya, mumi itu bangkit.
Awalnya, mumi yang bernama Allamistakeo merasa tersinggung dengan perlakuan para peneliti itu. Namun, setelah dijelaskan, sang mumi mau mengerti.
Allamistakeo adalah keturunan bangsawan dari keluarga Scarabeus. Nama keluarga itu sendiri diambil dari jenis kumbang scarab yang diagungkan bangsa Mesir. Karena itu, ketika dibalsam, Allamistakeo tidak dibuat seperti mumi lain—otaknya dikeluarkan dari lubang hidung dan organ dalam tubuhnya dikeluarkan dari samping. Keluarga Scaraabeus diawetkan dengan utuh. Sebagian bahkan sengaja minta diawetkan dengan meninggalkan wasiat agar dibangkitkan dalam jangka beberapa waktu berikutnya, salah satunya untuk mengikuti perkembangan zaman.
Demikian pula akhirnya yang terjadi dengan Allamistakeo dan para peneliti. Mereka berdiskusi tentang berbagai hal. Bangunan, pakaian, hingga saya sampai pada bagian berikut, konsep ketuhanan.
Ketika salah satu peneliti berkata, “Saya kira kumbang scarab adalah salah satu dewa yang dipuja bangsa Mesir,” Allamistakeo terkejut, saya rasa sedikit marah dan tersinggung dengan kata-kata “salah satu dewa”.
Lalu, berkata:
“Tidak ada bangsa di muka bumi ini yang menyembah lebih dari satu dewa. Kumbang scarab, burung ibis, dan binatang-binatang lain yang kami sucikan (sebagaimana bangsa-bangsa lain juga memiliki binatang suci mereka sendiri) hanyalah simbol atau media yang kami gunakan untuk membujuk rakyat agar menyembah Sang Pencipta, karena Dia terlalu agung untuk dihampiri secara langsung.”—p. 191
Saya…, agak terpekur. Jadi, manusia yang sekarang kalah dengan mumi, eh, masyarakat Mesir zaman dulu, tentang konsep ketuhanan? Ketika zaman sekarang orang sibuk menuding sana dan sini salah dalam beragama, jangan-jangan malah lupa kepada Tuhan itu sendiri.
Setiap orang punya cara masing-masing untuk menemukan Tuhannya. Ketika caranya berbeda dengan kita, tidak berarti kita berhak mencerca dan menghina. Itu tidak membantu. Jangan-jangan justru menjauhkan Tuhan dari kita. Karena…, bukankah merasa paling benar merupakan salah satu tanda munculnya kesombongan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H