Malamku tak lagi kedinginan
Hangat
Langit mendung menggantungÂ
Kiranya akan turun hujan
Tapi tak juga turunÂ
Hingga pagi
Puncak Wilis di timur pondok
Menahan sengatan matahari pagi
Entah mengapa pagi ini lebih dingin
Dari malamnya
Selalu begituÂ
Coba kutanya pada penduduk asli
Memang begini dari dulu
Dulu lebih dingin lagi
Katanya
Sebentar ku bergerak ke Madusari
Gontor Kampus Dua
Seribuan anak calon santri khusuk
Menunaikan Shalat Subuh
Wirid subuh di lantunkan jahr
Syahdu
Subhanallah, AlhamdulillahÂ
 Allahu Akbar
Ada anak Medan, anak Sangihe Talaud
Anak Bima, anak Sorong, anak AmbonÂ
Anak Sampit, anak Brunei, anak Serawak, anak xinjiang, anak Bangkok
 Dan anak -anak dari negeri negeri yang jauh
Memantapkan hatiÂ
Belajar di sini
Sebagian datang ditemani bapaknya
Sebagian ditemani Ibunya
Sebagian lagi di temani pembimbingnya
Subuh ini subuh terakhir Â
Ayah membersamai anaknya
Anak ditemani emaknya
Juga pembimbingnya
Setelah doa dilantunkan
Diiringi sholawat  ,dan tanpa tetes air mataÂ
Ayah memeluk putranya dan mengucapkanÂ
Selamat berjuang anakku
Ibu merangkul erat dan membelai kepala putranyaÂ
Baik baik ya sayang , Allah menjagamu
Ayah harus pulang , ibu pun pulang Â
Sunyi....
Berbondong gontai ibu-ibu meninggalkan AulaÂ
Rintik air mata mulai berjatuhan
Lalu tumpah di luar gerbang Pesantren
MenangisÂ
TerguguÂ
Tak tertahankan
Yang penting anak anak tak tahuÂ
JikaÂ
Air mata ini tertumpah.
Madusari, kutitipkan Rinduku di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H