Mohon tunggu...
Bee Bakhtiar
Bee Bakhtiar Mohon Tunggu... -

pencinta binatang, seni dan buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Datang Tiba-tiba

16 Desember 2013   09:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan lagi, matanya persis mata Papa. “Kalau begitu kau juga benci Kakak? Bukankah kau sendiri yang bilang, kalau Kakak ini foto kopi Papa?” Ah…..tu kan. Lagi-lagi Kakak membuatku tidak berdaya untuk berdebat dengan Kakak.

“Dia bukan Papa. Seperti juga Kakak, walaupun ia mirip Papa tapi ia orang yang berbeda. Percayalah, jika kau menatap matanya kau akan menemukan kedamaian, kau akan tahu betapa ia merindukanmu, ibunya.”

Ia tiba-tiba menoleh padaku, tersenyum dan melambaikan tangan, mungkin mengajakku bermain. Bagaimana? Selama ini selalu kutolak, karena aku benar-benar tidak tahan dekat-dekat dengannya. Aku mencoba tersenyum padanya, sedikit awalnya. Mungkin karena melihat senyumku, ia mendekat. Mempertontonkan senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. Astaga, senyum itu, aku tiba-tiba punya perasaan asing yang baru kurasakan hari ini.

Kenapa? Kenapa aku begitu terpesona dengan senyumannya? Dia begitu mungil dan tangan-tangan kecilnya terulur meminta tanganku. Mengajak bermain. Matanya juga tersenyum. Tidak, dia begitu memukau. Karena aku tak kunjung menyambut uluran tangannya, ia menjatuhkan diri di pelukanku. Begitu berani kau!

Biasanya bila ia berbuat begitu, aku langsung menyingkirkannya, sekuat tenaga. Tak peduli ia terpental ke dinding dan menjerit kesakitan. Tapi, kali ini ada yang menahanku, entah apa. Aku hanya begitu ingin memeluknya. Ingin merasakan sehangat apakah tubuh mungilnya? Ingin merasakan kelembutan kulitnya yang kuning langsat.

Matanya yang bulat indah menatap mataku penuh tanda tanya. Tapi senyum yang, ah, tidak kok, kali ini aku tidak terpaksa, membuatnya menggelendot manja dan membiarkanku memeluknya. Betapa hangatnya dia, betapa lembut dan halusnya. Inikah anakku? Benarkah dia anakku, benarkah dia makhluk mungil yang pernah hidup dalam rahimku? Kutatap dia dengan kerinduan yang tiba-tiba membludak.

Cinta yang sekian lama selalu kutekan kini tak bisa lagi kudustakan. Hari ini aku jadi orang yang paling bahagia ketika mulut mungilnya mencium pipiku sembari berbisik, “Aku sayang Ibu.” Tak perlu kulafaskan, sungguh tak perlu. Karena aku percaya ia tahu, aku pun sangat menyayanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun