Mohon tunggu...
Bee Bakhtiar
Bee Bakhtiar Mohon Tunggu... -

pencinta binatang, seni dan buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Datang Tiba-tiba

16 Desember 2013   09:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Papa yang frustrasi karena karirnya tiba-tiba mandek, kian terpuruk ketika Mama yang diharapkan Papa bisa memberi support justru pergi meninggalkan rumah dan hidup bersama laki-laki lain di apartemen kami. Laki-laki itu juga seorang dokter yang usianya jauh di bawah Mama. Setahun sesudahnya, Mama memilih bercerai dari Papa. Beliau mengusir Papa dari rumah yang memang milik Mama. Awalnya kami menentang pernikahan Mama dengan dokter muda itu. Tapi setelah menikah dengan Mama, ternyata ia begitu menyayangi kami. Sebagai anak kecil, aku tidak merasakan perbedaan kasih sayangnya dengan kasih yang pernah kukecap dari Papa.

Tapi, itu hanya sementara. Selang enam bulan, ia memperlihatkan harimau yang ternyata selama ini berdiam dalam dirinya. Tengah malam setelah ulang tahunku yang ke 10, ayah tiriku pulang dalam keadaan sedikit mabuk. Hal yang sudah sering terjadi. Tapi malam itu, ia bersikap lain, tiba-tiba saja ia merenggut tubuhku, menarikku secara paksa ke kamar. Seluruh pagar diriku patah saat itu. Di usiaku yang baru memasuki tahun ke sepuluh, aku diperkosa ayah tiriku. Orang yang telah kuanggap sebagai ayah kandung memecahkan balon impian masa depanku. Malam itu juga, setelah Ayah tiriku tertidur, aku melarikan diri ke kosan Kakak. Kakak indekos karena kampusnya jauh dari rumah.

Kejadian itu menimbulkan ombak dahsyat di keluarga kami, terutama dalam diriku. Aku yang tadinya ceria kini kehilangan semangat hidup. Kakak yang tadinya indekos kembali ke rumah. Walaupun ayah tiriku telah dipenjara dan Mama telah bercerai darinya, aku masih trauma berada dalam rumah kami. Karena itu Mama menjual rumah itu dan membeli rumah baru. Kejadian itu, walaupun sangat pahit bagiku, ternyata memberi efek positif. Papa dan Mama rujuk kembali dan kami hidup sebagai keluarga yang utuh seperti semula.

Tapi itu tidaklah lama. Papa yang terlanjur akrab dengan alkohol tidak henti-hentinya cekcok dengan Mama yang nyinyir memintanya berhenti minum. Adu argumen yang berlangsung setiap hari malah membuatku semakin tak menentu. Yang lebih parah lagi, Mama dan Papa mulai terang-terangan membawa pacar masing-masing pulang. Puncaknya, Mama minggat lagi dari rumah. Kali ini lebih jauh, beliau memilih ikut kekasihnya ke Jepang.

Aku tahu, Kakak sama sekali tidak berniat mengabaikan diriku. Kegiatan kuliah dan pekerjaannya sebagai fotografer lah yang menyita waktu. Apalagi saat itu Kakak tengah menyusun skripsi, hingga Kakak sering jarang pulang, ia lebih sering pulang ke tempat kosnya. Sungguh Kak, aku tidak pernah menyalahkanmu.

Dan Papa yang dulu selalu membawa lebih dari satu perempuan ke rumah, kini tidak pernah lagi membawa perempuan ke kamar. Akulah yang jadi sasarannya. Aku, anaknya sendiri yang harus menjadi lampiasan hasratnya. Kakak yang melihatku semakin kurus dan kian tak ceria membawaku ke dokter. Yah, tentu saja dokter tidak menemukan penyakit apapun di tubuhku, karena yang sakit adalah batinku. Tapi, aku tidak berani menceritakan semua kepahitan itu pada Kakak. Karena, Papa selalu menyisipkan pisau komando di jaketnya. Pisau itu pernah ia gunakan untuk menggores leher Bi Ipah saat berusaha menolongku ketika digagahi Papa.

Aku tidak mau Kakak dilukai Papa. Sering juga Papa mengancam, jika aku atau Bibi berani mengadu pada Kakak, Papa akan membunuh kami semua. Aku tidak mau itu terjadi. Hampir setahun Papa menjadikan aku “istri” paksaannya. Semuanya menjadi semakin kacau, ketika aku sadar aku hamil. Aku hamil saat aku memasuki usia 12 tahun. Selama aku hamil, Papa melarang Kakak datang ke rumah. Seluruh pintu beliau kunci dan kuncinya selalu dibawa. Suatu hari aku memberanikan diri membuka pintu dengan obeng. Bersama Bibi aku melarikan diri ke kosan Kakak.

Aku masih ingat betapa terkejutnya Kakak melihat perutku yang membuncit. Sejumlah pertanyaan ada apa dan apa yang terjadi Kakak hanya kujawab dengan air mata. Bibi yang menceritakan semua. Kakak ingin mencari Papa, tapi kutahan karena aku tidak ingin Kakak terluka. Tapi, di hari persalinanku, entah bagaimana caranya Papa menemukan kami. Aku yang tengah tergolek lemah menjadi saksi peristiwa itu. Kekhawatiran terbesarku terwujud hari itu. Papa dengan pisau komando di tangan menyerang Kakak, karena Kakak bertanya mengapa Papa tega melakukan perbuatan bejat itu padaku.

Mungkin seluruh frustrasi Papa meledak saat itu. Hampir saja Kakak terbunuh. Suster yang datang karena mendengar keributan turut menjerit ketika Papa rubuh bersimbah darah dengan pisau menancap di rusuknya. Upaya Kakak berkelit dari serangan Papa telah membuat Papa terpanggang senjatanya sendiri.

Aku dan suster itu tahu, Kakak tidak bersalah. Kakak tidak pernah menusuk Papa, tapi di mata hukum ternyata Kakak tetap bersalah. Sekuat apapun aku menjerit membelanya, tak pernah dihiraukan hakim-hakim itu. Mereka tetap beranggapan Kakak telah merencanakan pembunuhan terhadap Papa. Tidak ada yang mau mendengarku bahwa pisau itu milik Papa. Maafkan aku, Kak.

Dan anak itu, anak yang saat ini tengah memandangku adalah anak Papa. Anak Papa yang tumbuh tanpa kukehendaki di rahimku. Bagaimana bisa aku tidak membencinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun