CINTA YANG DATANG TIBA-TIBA
Melihatnya tertawa dan berlari ternyata tidak mampu menebus rasa sakit yang tak ingin tapi terpelihara baik di dalam hati. Ia begitu mungil, dan aku sadar ia tidak bersalah. Namun, sering rasa itu menggemuruh dalam hati, dia telah mengubah hidupku. Aku yang tidak mengerti apa-apa tiba-tiba harus dipanggil ibu. Ibu, bagi wanita lain panggilan itu akan menimbulkan rasa bangga yang tiada dua. Panggilan yang memberi cerminan bahwa ia adalah seorang wanita sejati,wanita sempurna karena telah melahirkan seorang manusia mungil yang akan jadi tumpuan curahan kasih hingga akhir hidup.
Tapi bagiku panggilan itu adalah mimpi buruk. Kehadirannya dalam hidupku memberi rasa sakit yang berkepanjangan. Sakit yang tak tersembuhkan dan akan selalu menggerogoti setiap inci tubuh dan jiwaku. Kehadirannya bermula dari derita dan ketakutan panjang yang akhirnya membawa kakak satu-satunya ke penjara, demi menyelamatkan masa depanku yang terlanjur hancur.
Pengorbanan yang sia-sia? Ah, aku tak ingin pengorbanan Kakak jadi sia-sia. Tapi hatiku belum siap menerimanya. Ia jadi semacam kanker yang terus-menerus menggerogoti hidupku. Ah, Kakak. Kalau bukan karena engkau yang minta, mungkin ia telah kukubur agar seluruh sakit itu berhenti menyerangku, agar jiwaku bisa keluar dari sangkar kemarahan dan kebencian. Tapi, kau bilang ia tidak bersalah dan aku tidak pantas membencinya? Tidakkah Kakak tahu, aku tidak pernah ingin ia ada. “Kakak tahu, tapi ia terlanjur ada. Dan ia membutuhkan mu, kalau kau masih membencinya seperti ini, ia akan sakit seumur hidupnya.” Itu yang selalu kau katakan Kak. Tidak tahukah engkau, aku juga sakit, mungkin juga seumur hidupku.
“Kakak tahu, sakitmu tidak akan pernah terobati. Tapi jika kau mau belajar mencintainya mungkin itu akan mengurangi rasa sakitmu, paling tidak mengurangi bencimu. Karena ia adalah mutiara terindah.” Setiap kali menyatakan ini, kau selalu tersenyum. Ia masih tertawa, berkejaran dengan teman sebayanya. Benarkah ia mutiaraku? “Percayalah, ia mutiara yang tiada duanya.” Kau begitu yakin, Kak. Tapi entahlah, setiap kali memandangnya aku selalu ingat laki-laki yang kita panggil papa, yang juga harus ia panggil ayah. Apa kau tidak menyadari itu, Kak?
“Kakak tahu. Tapi ia tidak perlu tahu itu. Ia cukup tahu kau ibunya, ibu yang sangat menyayanginya. Ibu yang akan menjadi pelindung seumur hidupnya. Percayalah, itu tidak akan menyakitimu lagi.” Duh, Kakak, aku belum siap untuk memberikan hatiku padanya. Kakak tahu, aku masih ingin bebas, bermain, sekolah, dan mengejar masa depanku. “Kau masih bisa melakukan apa saja, dia tidak akan menghalangimu. Percayalah, kau cukup memberinya kasih sayang seperti kau menyayangi Kakak.”
Mengikuti kaki-kaki mungilnya melonjak kian kemari, ah, sejenak aku jadi berpikir Kakak mungkin benar. Mendengar tawanya, melihat wajahnya yang tengah menggoda temannya. Aduh, aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang ganjil. Apa ini? Selama ini aku selalu menjaga jarak darinya. Kalau bukan karena permintaan Kakak, aku tidak akan sudi ia ada di rumah sejuk kita ini. Kubiarkan ia tumbuh dan besar di tangan pembantu setia kami, yang juga telah merawat dan menyayangi kita sejak kita masih bayi. Aku tak pernah mau berada dekat dengannya, tak pernah mau makan bersama dengannya, karena dekat dengannya membuatku tersiksa.
“Kita sejak kecil berlimpah harta tapi tidak pernah merasakan ciuman yang tulus dari Papa dan Mama, bahkan saat ulang tahun mereka hanya hadir lima menit saja. Sejak kecil, kita sudah merasakan sakit karena tidak pernah tersentuh kasih Mama dan Papa, yang kita reguk hanya cinta Bik Ipah. Apakah kau akan membiarkan dia merasakan sakit yang sama?”
Ah, Kakak selalu membuatku berpikir bahwa Kakak benar. Yah, mungkin memang Kakak benar, tapi, aku belum bisa berdamai dengan hatiku. “Kau pandanglah matanya.” Huh, Kakak tidak mengerti, menatap matanya membuatku ingat pada Papa dan masa-masa buruk itu.
Saat kehidupan yang tenang tiba-tiba tercerabut karena perceraian Papa dan Mama. Memang, kita bukanlah anak-anak yang berlimpah kasih sayang, kita besar dan tumbuh di tangan pembantu sementara kedua orang tua kita sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Kuceritakan sedikit ya untukmu. Mama adalah seorang dokter yang mengepalai sebuah rumah sakit milik keluarga, sedangkan Papa pelukis terkenal. Harga satu lukisan Papa cukup untuk menghidupi kami berbulan-bulan. Tapi semua berubah, ketika Papa harus menerima kenyataan bahwa beliau jatuh, pameran lukisan beliau yang dulu ramai sekarang tak berpengunjung. Lukisan yang biasanya laris kini untuk menjual satu lukisan saja sangat sulit. Aku juga tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi.