Kemarin kami sempat belajar mengenai etika digital, di mana aku rasa Indonesia dan dunia harus menjadikan hal ini sebagai kebutuhan primer di dunia digital. Aku tertarik sama isu-isu akhir ini yang  kerap mempengaruhi popularitas nama-nama 'orang terkenal' hanya karena komentar netizen atau istilah akademisnya adalah cancel culture.
Generasi Z, yang lahir di antara pertengahan 1990an hingga awal 2010an, dikenal sebagai generasi digital native. Mereka tumbuh dikelilingi teknologi dan terbiasa berinteraksi di ruang online. Media sosial menjadi platform utama mereka untuk bersosialisasi, mencari informasi, dan bahkan mencari keadilan. Munculnya fenomena "cancel culture" di kalangan Gen Z pun tidak terhindarkan.
Cancel culture, secara harfiah diterjemahkan menjadi budaya pembatalan, merujuk pada tren dimana seseorang atau sesuatu diboikot secara online. Masyarakat, khususnya Gen Z yang aktif di media sosial, bisa dengan cepat "membatalkan" figur publik, brand, bahkan teman sebaya mereka jika dianggap melakukan kesalahan atau memiliki opini yang tidak sesuai. Boikot ini bisa berupa serangan di media sosial, petisi online, hingga tuntutan pembatalan kontrak kerja atau sponsor.
Para pendukung cancel culture berpendapat bahwa ini adalah bentuk baru dari akuntabilitas. Di era digital, informasi menyebar dengan cepat dan luas. Cancel culture menjadi alat bagi masyarakat, terutama yang sebelumnya tidak memiliki suara, untuk melawan ketidakadilan dan meminta pertanggungjawaban dari figur publik. Mereka yang melakukan kesalahan, meskipun di masa lalu, bisa dimintai pertanggungjawaban dan dipaksa untuk merenungkan tindakannya.
Sebagai contoh, misalkan seorang selebriti kedapatan pernah melakukan perundungan di masa sekolah. Melalui media sosial, para korban bisa bersuara dan membagikan pengalaman mereka. Publik pun bisa ikut mengecam tindakan selebriti tersebut, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kariernya. Cancel culture, dalam hal ini, menjadi jalan bagi para korban untuk mendapatkan keadilan yang mungkin tak bisa mereka dapatkan sebelumnya.Â
Selain itu, cancel culture juga bisa mendorong perubahan sosial. Ketika sebuah brand mengeluarkan produk yang dianggap rasis atau seksis, misalnya, Gen Z bisa dengan cepat melancarkan aksi boikot. Dampak negatif dari cancel culture ini bisa memaksa brand tersebut untuk meminta maaf, menarik produknya, dan memperbaiki kebijakan internal mereka. Dengan demikian, cancel culture bisa menjadi katalis untuk mendorong terciptanya tatanan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Namun, cancel culture juga menuai banyak kritik. Para penentang berpendapat bahwa cancel culture terlalu reaktif dan tidak memberikan ruang untuk perbaikan. Seringkali, seseorang bisa "dibatalkan" hanya berdasarkan potongan video atau informasi yang tidak lengkap. Nuansa dan konteks kejadian bisa terabaikan, sehingga yang muncul hanya penghakiman instan di dunia maya.
Cancel culture juga bisa berdampak buruk pada kebebasan berekspresi. Ketika orang takut untuk menyuarakan pendapat mereka karena khawatir akan "dibatalkan," ruang untuk diskusi dan pertukaran pikiran yang sehat bisa terhambat.Â
Kritik lainnya adalah cancel culture kerap kali tidak proporsional. Hukuman yang dijatuhkan, berupa boikot dan penghancuran reputasi online, bisa dibilang terlalu keras untuk kesalahan yang mungkin sebenarnya bisa dimaafkan.Â
Sebagai contoh, misalkan seorang remaja melakukan kesalahan bodoh di media sosial saat masih kecil. Beberapa tahun kemudian, ketika dia sudah dewasa dan berusaha memperbaiki diri, masa lalunya tersebut bisa terus membayangi. Ini mirip dengan kasus Kim Garam ex-Le Sserafim...
Cancel culture, dalam hal ini, bisa menghalangi seseorang untuk belajar dari kesalahannya dan memulai hidup baru.