Memandang perempuan bekerja tak seharusnya semata-mata hanya kita pahami sebagai wanita yang mengejar karir. Pilihan untuk bekerja atau tidak, terutama bagi perempuan yang telah menikah, tidak pernah sesederhana itu.
Wanita lajang lebih memiliki kebebasan memilih dan menentukan jalan hidupnya. Termasuk memilih untuk berkarya di bidang apa, di mana, dan dengan cara bagaimana. Tidak terlalu perlu mempertimbangkan izin dan kondisi orang-orang terdekatnya.
Sebaliknya, ketika mereka telah menikah, lalu dikaruniai keturunan, bekerja bukan perkara yang mudah untuk dijalankan. Dalam perspektif Islam, mereka harus mendapat ijin dari suami, dan memenuhi serangkaian aturan. Sebaik-baiknya perempuan adalah berada (berkarya) di rumahnya.
Ketika dihadapkan dengan permasalahan sosial yang faktual, kita tak bisa menutup mata terhadap ironi yang dihadapi jutaan perempuan. Tanpa bermaksud memojokkan para pria, dewasa ini makin banyak kita temukan kasus perempuan yang terpaksa harus bekerja meski telah menikah.
Suami yang belum sanggup mencukupi kebutuhan rumah tangga yang begitu menghimpit, tak bisa disamakan dengan sekedar keinginan untuk hidup lebih dari cukup. Karena meski keduanya sama-sama membanting tulang, hidup layak terkadang masih jauh dari jangkauan.
Suami yang sudah berpenghasilan cukup pun, di masa yang makin hari makin  menantang ini, tetap melahirkan kecemasan dan ketidakpercayaan diri akan masa depan mereka  dan anak-anaknya. Hingga 'memaksa' sang istri untuk tetap bekerja.Â
Dalam kondisi yang lebih berat, hingga bisa kita sebut sebagai tiadanya pilihan, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya, mau tak mau harus mencari nafkah.Â
Kondisi seorang istri tanpa suami seperti sudah kita ketahui, dilatarbelakangi beragam alasan. Mulai suami yang sejatinya masih ada secara fisik dan terikat pernikahan yang sah.
Namun tak mengindahkan kewajibannya sebagai kepala keluarga, atau suami yang sedang sakit keras hingga kehilangan kemampuan fisiknya menjemput nafkah. Sampai suami yang benar-benar sudah meninggalkan anak istrinya, baik karena meninggal dunia maupun karena sebab perceraian.
Ketika suami sudah hilang sama sekali perannya dalam mengayomi perekonomian keluarga, demi keberlangsungan hidup anak-anak, kepada siapa lagi beban ditumpukan.Â
Tak lagi bicara tentang masa depan apalagi hidup berkecukupan, sekedar bisa makan sudah menjadi karunia besar bagi mereka.Â
Mereka yang dalam kondisi ini, sebagian besar diketahui tidak biasa bekerja ketika masih memiliki suami. Beberapa mengaku tidak diijinkan sang suami untuk bekerja.Â
Lalu ketika dunianya dibalik begitu saja, bukan sekedar cemas, namun keputusasaan, bahkan depresi melingkupi para perempuan ini.
Sejatinya perempuan punya banyak pilihan untuk berkarya, termasuk dengan tetap berada di rumah.Â
Sudah banyak pembahasan tentang apa yang bisa dilakukan seorang istri dan ibu untuk tetap produktif, baik mengasah ilmu, menghasilkan karya yang bernilai ekonomis, atau mengaktualisasikan diri dalam bentuk lain, tanpa harus meninggalkan (pengasuhan) anak-anak.Â
Sementara kita juga pahami, banyak sektor pekerjaan yang membutuhkan kehadiran pekerja perempuan. Guru pendidikan usia dini dan jenjang lain, bidan, dokter dan tenaga kesehatan lain, pekerjaan yang bernilai seni budaya seperti membatik, menenun atau merajut, serta industri makanan skala rumahan.Â
Bahkan kebanyakan pabrik rokok, yang konsumen terbesarnya para lelaki, didominasi oleh pekerja wanita. Mayoritas penjual di pasar-pasar tradisional, penjaga kios-kios makanan termasuk di antaranya.Â
Kembali lagi, tidak semua perempuan bekerja adalah demi mengejar karir apalagi pengakuan dan pencapaian pribadi. Saya pribadi meyakini golongan kedua, yaitu mereka yang bekerja karena 'tak punya pilihan', adalah fenomena yang paling banyak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H