Siang itu seorang sahabat mengabarkan bahwa anak dan suaminya akan berkunjung ke tempat ia bertugas, di Kupang, NTT. Sahabat saya ini, sebut saja namanya Vani, tinggal di kota tersebut akibat mutasi kerja yang secara reguler diadakan oleh tempatnya bekerja, sejak akhir tahun 2020. Sementara Vani bersama bayinya yang baru berusia sembilan bulan dan seorang asisten rumah tangga (ART) menetap di sana sampai mutasi berikutnya memindahkan dia entah ke kota mana lagi, sang suami dan anak pertama tetap tinggal di sebuah kota di Jawa Timur.Â
Long weekend kemarin menjadi berkah bagi banyak orang. Meski ada larangan mudik oleh pemerintah, namun menemui pasangan, orang tua, dan anak yang tidak bertemu berbulan-bulan di daerah yang sama sekali bukan daerah asal mereka rasanya tidak bisa disebut perjalanan mudik. Jadilah suami istri, kedua anak dan seorang ART berkumpul di kota terbesar di pulau Timor ini.Â
Vani yang sebulan sebelumnya sempat mengabarkan rumah dinas yang ia tempati mendapat serbuan ulat yang entah bagaimana muncul dari sela pori-pori tembok dan lantai rumah, bercerita bahwa Anji, anak pertamanya begitu antusias berkunjung untuk pertama kali ke sana.Â
Terbayang oleh mereka untuk menghabiskan waktu libur dengan mengunjungi pantai-pantai terdekat. Kehadiran sang suami selain mengobati rindu, memberi kesempatan untuk membantu perbaikan yang diperlukan pada rumah dinas itu, juga menemani berbelanja kebutuhan bulanan.
Tak dinyana selang beberapa hari kemudian, saat saya menanyakan kembali kabar mereka, Vani memintakan doa. Saat itu kota yang ia tinggali sudah mulai dihempas badai. Tak hanya angin yang super kencang, hujan deras dua hari terakhir membuat mereka membatalkan jangankan rencana mengunjungi pantai, bahkan sekedar belanja kebutuhan rumah yang sudah menipis pun tak jadi.Â
"Minta doanya ya, Mbak....ngeri banget kondisinya di sini," pintanya berkali-kali melalui pesan Whatsapp.
Esok paginya ia mengabarkan bahwa mereka tidak tidur semalaman. Air mulai masuk ke dalam rumah, sedang tempat tidur yang mereka miliki berupa kasur yang dihamparkan di lantai beralas karpet. Sehingga bila air masuk ke dalam rumah, kasur pun terendam. Keberadaan dua anak kecil turut menambah kerepotan yang terjadi. Terlebih saat listrik mulai padam dan diperkirakan akan berlangsung sampai lima hari.
"Nasib ASIP-ku gimana ya, Mbak, bakal mencair kalau listrik padam berhari-hari," keluhnya menyebutkan persediaan ASIP (ASI Perah) yang memenuhi kulkas khusus ASI, yang saat ia pindah ke kota Kupang adalah barang yang dibelinya untuk pertama kali. Ganta, si bayi berusia sembilan bulan memang masih mengkonsumsi ASI eksklusif. Â
Akhirnya bersama sang suami, keesokannya ia meminjam mobil double cabin milik kantor, mengangkut kulkas ASIP tersebut ke kantor. Setidaknya masih ada genset di kantornya meskipun dengan solar yang terbatas. Sekalian mereka mengisi daya ponsel masing-masing di sana, supaya komunikasi tidak putus sepenuhnya.
"Van, segeralah belanja persediaan darurat," demikian saya menyarankan, turut bingung tak bisa berbuat apa-apa karena jauhnya jarak kami. Hubungan kami memang sudah seperti saudara kandung, melebihi teman biasa. Hingga kesusahan masing-masing akan saling dirasakan.
"Belilah makanan siap saji, air minum, emergency lamp selain lilin. Ambil uang di ATM sebagai cash on hand untuk berjaga-jaga bila ATM juga padam dan kamu tak bisa menggesek kartu. Kalau perlu carilah genset untuk rumahmu," lanjut saya sambil menyebutkan sederet survival equiptment yang sekiranya akan mereka butuhkan. Terlebih sang suami tak bisa berlama-lama menemani di sana, karena cuti kerjanya juga terbatas. Sehingga kebutuhan Vani dan bayinya harus terpenuhi setidaknya untuk dua minggu ke depan.