Ketika kami sesama rekan kerja, makan bersama, sudah jamak diantara kami bergantian untuk membayarkan tagihan makanan.
Entah saat dinas luar, makan pagi atau  siang harian di warung yang jauh dari kantor, atau pada kesempatan lain kami bertemu.
Beberapa kali pindah kantor, berganti rekan kerja, bertemu teman-teman yang berbeda, kebiasaan itu semacam aturan tidak tertulis.
Kebiasaan gantian mbayari makan maksudnya.
Soal mbayari makan segitu saja rasanya ndak perlu dimasukkan kode etik kepegawaian. Ndak rentan dengan praktek gratifikasi, tapi bisa jadi delik kolusi.
Haaahh?! Kolusi apaan?!?!
Ya kolusi untuk mbayari makan temannya, dengan asas pertemanan, keguyuban, solidaritas, dan berbagi.
Kami (terlanjur) percaya, hal itu tidak memberatkan karena setiap kali makan, umumnya, tak lebih dari dua-lima orang.
Yang penting gantian, ya kan?
Sampai suatu ketika saya (sok-sokan) mikir, perlu kode etik ngga sih, traktir-mentraktir begini?
Jangan dibayangkan klausul yang rumit-rumit sampai harus dilaporkan ke KPK atau ke unit Kepatuhan Internal.
Lha wong ini cuma makan bareng teman seseksi, atau teman sekantor, atau teman lama yang baru ketemu lagi.
Yang bikin saya (sedikit) mikir itu, memperhatikan pola sikap teman-teman ini.