Selain itu, pemaafan dan penerimaan pelaku berdasarkan kelompok sosial atau masyarakat (bukan korban) justru menunjukan adanya jaminan untuk menekan korban agar tetap diam dan memunculkan gangguan terhadap kesejahteraan korban.
Sayangnya, dalam merespon berita ini, KPI selaku lembaga yang menaungi dan bertanggungjawab dalam hak siar program-program televisi malah bersikap acuh tak acuh. Ketika ditanya kenapa mantan narapidana ini tak juga dicekal, Komisioner KPI hanya menjawab, "Saipul tidak menginspirasi orang melakukan tindakan asusila saat tampil di TV."
Lah, lalu tindakan seperti apa yang bisa memunculkan tindakan asusila? Apakah hanya tontonan yang mengandung adegan pornografi yang bisa menginspirasi tindak asusila? Itupun tidak mungkin lolos sensor, mengingat di negara kita "payudara" Sandy dalam kartun Spongebob dan tayangan yang ada sapi perahnya saja diblur seburam mungkin sampai tokohnya tidak kelihatan sama sekali---kecuali wajah dan kakinya.
Lagipula, munculnya komentar ini sekali lagi malah menunjukan ketidakberpihakan publik terhadap korban pelecehan, mengabaikan akibat dari perbuatan pelaku selama ini. Eits, tapi tunggu, pantas saja sepertinya KPI masa bodoh, wong pegawainya sendiri mengalami perundungan dan kekerasan seksual oleh sesama rekan kerja selama 10 tahun saja dibiarkan, kok.
Untungnya, menyusul sentimen publik yang terus meningkat tajam atas tayangan Saipul Jamil ini, terhitung pada tanggal 6 September lalu KPI telah melayangkan 18 surat kepada Lembaga Penyiaran dan meminta agar seluruh lembaga ini tidak terkesan merayakan atau mengglorifikasi eksistensi Saipul Jamil pasca menjalani hukuman yang dapat berupaya membuka kembali trauma korban di masa lalu. Kita tunggu saja kelanjutannya.
Namun, kalau ternyata Saipul Jamil masih tampil wara wiri di saluran YouTube meski sudah tidak muncul di televisi, saya rasa memang ada yang salah dengan pola kerja media di Indonesia, bahkan influencer yang sesungguhnya punya privilese dalam mempengaruhi khalayak umum.
Kalau dipikir-pikir, sejujurnya dalam hal ini saya agak iri dengan Korea Selatan. Mengapa? Karena negara ini dikenal menjadi salah satu negara yang tidak ramah terhadap pelaku-pelaku kejahatan atau kriminalitas. Bukan hanya dari kebijakan institusi terkait, namun netizen negeri ginseng sendiri memang dikenal sebagai yang cukup sadis dalam meng-cancel artis-artisnya ketika tersandung masalah hukum.
Misalnya saja kasus Burning Sun dua tahun lalu yang sempat geger karena mengungkap kasus penyerangan, kekerasan seksual, peredaran narkoba, dan prostitusi.Â
Tidak hanya menguak sejumlah nama artis seperti Seungri BigBang sebagai pemilik Burning Sun, Jung Joon Young, dan Choi Jong Hoon, kabarnya banyak pula chaebol (konglomerat), politisi, hingga aparat penegak hukum yang ikut berperan aktif dalam pembungkaman kasus ini.
Hasil dari terungkapnya kasus tersebut membuat Seungri mengundurkan diri dari grup BigBang dan industri hiburan secara menyeluruh pada 11 Maret 2019. Jangan tanya soal Jung Joon Young dan Choi Jong Hoon yang divonis tujuh tahun penjara.Â
Mereka tentu mendapat kecaman publik yang begitu besar hingga diboikot dari berbagai program televisi (begitu juga yang terjadi dengan tersangka-tersangka sebelumnya yang datang dari kalangan artis).