Mohon tunggu...
Ainur Rohim
Ainur Rohim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar kepada Shalawat untuk Meraih Keberkahan Hidup

12 Desember 2017   07:21 Diperbarui: 12 Desember 2017   08:41 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senin(11/12), pesantren mahasiswa Al-Iqbal melaksanakan kajian aswaja bersama ustadz Nur Hadi dari Aswaja Center. Kajian aswaja kali ini bertemakan shalawat dengan sub tema permasalahan alat musik yang digunakan untuk mengiringi shalawat, hukum menyingkat shalawat, dan hukum membaca shalawat kepada selain para nabi. Tiga pokok bahasan tersebut diuraikan oleh ustadz Nur Hadi dengan landasan hadits nabi dan kitab-kitab para ulama' aswaja.

Pokok bahasan pertama diawali dengan uraian mengenai hukum alat musik. Dijelaskan oleh ustadz Nur Hadi berdasarkan pendapat ulama bahwa hukum alat musik ada dua, yakni haram lidatihidan haram lighairih. 

Haram lidzatihyakni haram karena zat alat musik itu sendiri atau bisa diartikan bahwa menurut pendapat ini, alat musik sepenuhnya haram (haram mutlak). Kemudian untuk haram lighairihberarti alat musik asalnya berhukum mubah namun ada sebab-sebab lain yang menjadikannya haram. Sebab-sebab itu antara lain adalah sebagai berikut :

Mengahalangi untuk mengingat Allah

Membuat lalai dari Allah

Melalaikan shalat

Meninggalkan ketaqwaan

Sebab-sebab itu muncul karena banyaknya orang yang kurang tepat dalam memosisikan musik (disposisi musik) sehingga musik digunakan sebagai pemuas nafsu bukan sebagai penentram hati.

 Bahasan pertama berlanjut pada hukum shalawat yang diiringi oleh alat musik yang diharamkan. Menurut Imam az-Zarkasyi, shalawat yang diiringi oleh musik yang diharamkan tetap bernilai pahala, yang haram hanya alat musiknya. 

Kemudian pendapat yang lain menjelaskan bahwa shalawat yang diiringi oleh alat musik yang diharamkan hukumnya haram secara mutlak karena terdapat talbis yakni mencampur adukkan antara kebaikan dengan kejelekan seperti shalawatan yang bertujuan untuk membuat lalai dari Allah dengan musik yang diharamkan dan pelantunnya membuka aurat, serta pada tempat pelaksanaannya tidak terdapat pemisah antara laki-laki dan perempuan. 

Dari dua pendapat tersebut, ustadz Nur Hadi memberi kesimpulan bahwa hukum shalawat dengan diiringi musik yang diharamkan bergantung pada tiga hal yakni, niat, cara melantunkannya, dan tempatnya.

Lanjut pada pokok bahasan kedua yakni hukum menyingkat shalawat dengan shal'amatau SAW. Ustadz Nur Hadi menjelaskan hal itu dengan mengutip kitab Fathul Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits: 3/71 dan kitab Fatawi al-Haditsiyah Ibnu Hajar: 547. 

Dalam kitab Fathul Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits: 3/71 dijelaskan bahwa hukum menyingkat shalawat atau membuat rumus dalam shalawat adalah makruh sementara dalam Fatawi al-Haditsiyah Ibnu Hajar: 547 dijelaskan bahwa menyingkat shalawat itu tidak boleh bahkan dalam kitab ini juga dijelaskan keutamaan menuliskan rahimahullahatau radhiyallahu anhusetelah nama ulama' besar.

Pokok bahasan dilanjutkan dengan penceritaan dua kisah ulama' yang ditegur oleh Rasulullah karena menyingkat shalawat. Pertama, diceritakan bahwa ada seorang wali yang dalam kitabnya terdapat penyingkatan shalawat dengan shal'am, kemudian ditegur oleh Rasulullah lewat mimpinya dan akhirnya diganti dengan bacaan shalawat yang lengkap. 

Kedua, diceritakan bahwa Ibnu Adil Da'im menulis shalawat tanpa wasallam kemudian diberi tahu Rasulullah dalam mimpinya bahwa dalam kata "wasallam" terdapat empat puluh kebaikan dengan rincian setiap satu huruf terdapat sepuluh kebaikan.

Kini sampailah pada pokok bahasan yang terakhir yakni hukum membaca shalawat selain untuk para nabi. Ustadz Nur Hadi menjelaskan bahwa terkait hal ini ada 5 hukum yang mengatur, yakni sebagai berikut :

Menurut ulama' malikiyah, hukumnya boleh secara mutlak

Menurut Imam Malik, hukumnya tidak boleh secara mutlak

Menurut Sufyan ats-Tsauri, hukumnya makruh

Menurut Imam Ahmad, hukumnya makruh dengan istiqlal. Istiqlal berarti tanpa ada permulaan shalawat kepada nabi sebelumnya atau langsung shalawat kepada selain para nabi seperti : allahumma shalli 'alaa zaid waali zaid.

Menurut Imam Syafi'i, tidak boleh dengan istiqlal namun harus mengikuti nash. Istiqlal berarti tanpa ada permulaan shalawat kepada nabi sebelumnya atau langsung shalawat kepada selain para nabi seperti : allahumma shalli 'alaa zaid waali zaid. Kemudian mengikuti nashberarti ada permulaan shalawat kepada nabi seperti : "allahumma shalli 'alaa muhammad waali muhammad wa 'alaa zaid wa umar...."

Dari kelima pendapat itu dapat juga dikatakan bahwa membaca shalawat kepada selain para nabi merupakan khilaful aula yang berarti tidak boleh ada perpecahan akibat beda pendapat, sama halnya dengan permasalahan alat musik tadi, yang mengikuti hukum haramnya alat musik lidzatih tidak boleh mencela yang mengikuti hukum haramnya alat musik lighairih, begitu pula sebaliknya.

Demikianlah kajian aswaja yang disampaikan oleh ustadz Nur Hadi pada kesempatan kali ini. Semoga apa yang sudah diperoleh dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan dalam hidup kita. Aamiin aamiin yaa Rabbal 'alamiin. Bismillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun