Mohon tunggu...
Ainur Rohim
Ainur Rohim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar kepada Shalawat untuk Meraih Keberkahan Hidup

12 Desember 2017   07:21 Diperbarui: 12 Desember 2017   08:41 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lanjut pada pokok bahasan kedua yakni hukum menyingkat shalawat dengan shal'amatau SAW. Ustadz Nur Hadi menjelaskan hal itu dengan mengutip kitab Fathul Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits: 3/71 dan kitab Fatawi al-Haditsiyah Ibnu Hajar: 547. 

Dalam kitab Fathul Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits: 3/71 dijelaskan bahwa hukum menyingkat shalawat atau membuat rumus dalam shalawat adalah makruh sementara dalam Fatawi al-Haditsiyah Ibnu Hajar: 547 dijelaskan bahwa menyingkat shalawat itu tidak boleh bahkan dalam kitab ini juga dijelaskan keutamaan menuliskan rahimahullahatau radhiyallahu anhusetelah nama ulama' besar.

Pokok bahasan dilanjutkan dengan penceritaan dua kisah ulama' yang ditegur oleh Rasulullah karena menyingkat shalawat. Pertama, diceritakan bahwa ada seorang wali yang dalam kitabnya terdapat penyingkatan shalawat dengan shal'am, kemudian ditegur oleh Rasulullah lewat mimpinya dan akhirnya diganti dengan bacaan shalawat yang lengkap. 

Kedua, diceritakan bahwa Ibnu Adil Da'im menulis shalawat tanpa wasallam kemudian diberi tahu Rasulullah dalam mimpinya bahwa dalam kata "wasallam" terdapat empat puluh kebaikan dengan rincian setiap satu huruf terdapat sepuluh kebaikan.

Kini sampailah pada pokok bahasan yang terakhir yakni hukum membaca shalawat selain untuk para nabi. Ustadz Nur Hadi menjelaskan bahwa terkait hal ini ada 5 hukum yang mengatur, yakni sebagai berikut :

Menurut ulama' malikiyah, hukumnya boleh secara mutlak

Menurut Imam Malik, hukumnya tidak boleh secara mutlak

Menurut Sufyan ats-Tsauri, hukumnya makruh

Menurut Imam Ahmad, hukumnya makruh dengan istiqlal. Istiqlal berarti tanpa ada permulaan shalawat kepada nabi sebelumnya atau langsung shalawat kepada selain para nabi seperti : allahumma shalli 'alaa zaid waali zaid.

Menurut Imam Syafi'i, tidak boleh dengan istiqlal namun harus mengikuti nash. Istiqlal berarti tanpa ada permulaan shalawat kepada nabi sebelumnya atau langsung shalawat kepada selain para nabi seperti : allahumma shalli 'alaa zaid waali zaid. Kemudian mengikuti nashberarti ada permulaan shalawat kepada nabi seperti : "allahumma shalli 'alaa muhammad waali muhammad wa 'alaa zaid wa umar...."

Dari kelima pendapat itu dapat juga dikatakan bahwa membaca shalawat kepada selain para nabi merupakan khilaful aula yang berarti tidak boleh ada perpecahan akibat beda pendapat, sama halnya dengan permasalahan alat musik tadi, yang mengikuti hukum haramnya alat musik lidzatih tidak boleh mencela yang mengikuti hukum haramnya alat musik lighairih, begitu pula sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun