Mohon tunggu...
Ain Saga
Ain Saga Mohon Tunggu... -

bekerja di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bir Pletok dan Pak Tua

20 Januari 2014   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Judul: Bir pletok Dan Pak Tua
Penulis: Ain Saga

Namanya Pak zainul, lelaki berumur lebih dari lima puluh tahun, setara usia ayahku. Beliau salah satu tetanggaku yang kerap berjualan minuman Bir Pletok. Sejenis minuman khas Betawi tempo dulu yang sudah amat langka kujumpai. Dari beliau, aku belajar mencintai budaya minum Bir Pletok yang konon jadi kegemaran para tuan tanah di jaman penjajahan Belanda.

Senja itu langit merah saga, membawa sinar mentari pulang ke peraduan malam. Lampu-lampu kota telah menyala jingga, kehidupan malam pun terus bergulir di Ibukota dengan jumlah penduduk nyaris tujuh juta jiwa. Angka fantastis menurutku dengan luas kota yang tak seberapa dibanding Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Seperti biasa, di dekat danau Situ babakan, aku kerap berangin-angin. Sekedar melepas penat seharian berkutat di kampus., kunikmati penjaja gorengan dan beberapa pedagang asongan di tepi danau.
“Mampir, Den!” sebuah suara menggoda sepiku. Aku menoleh dan sebuah senyum menyambut mataku hangat.

“Pak Zainul? Bapak berjualan di sini?” kutegur sosok lusuh dan tua milik Pak zainul sekedar berbasa-basi. Sungguh, waktu itu aku dikasih gratis pun mungkin enggan mencoba minuman aneh yang dijualnya. Apa? Bir Pletok? Ahahaha…. Tawaku nyaris meledak, mendengar istilah nama itu. Pasti rasanya aneh seaneh namanya, pikirku sedikit narsis.

Pak Zainul masih setia dengan dagangannya yang jarang laku. Kulihat matanya merah mungkin menahan kantuk akibat berjam-jam harus menunggu gerobak minuman anehnya. Aku pura-pura tak acuh dengan sapaannya barusan.

“Kenapa enggak coba berjualan lainnya, Pak? Mie Pangsit, bakso atau kenctucky fried chicken?” kuajak ngobrol Si Pak Tua menghindari jenuh saat aku masih menunggu Dani, kawan kampusku, ada game baru yang ingin diperlihatkannya di rumah. Kami janjian bertemu di danau Situ Babakan.

“Coba satu gelas, Pak?” akhirnya ku tak tahan melihat roman muram di wajah setengah baya itu. tak satu pun pengunjung danau melirik minuman Bir Pletoknya. Rasa iba yang besar, membuatku sedikit rela berbagi recehan lima ribu untuk satu gelas minuman aneh dan langka itu.

Wajah Pak zainul tampak sumringah mendengar aku memesan minumannya. Disodorkannya gelas berisi bir pletok dengan asapnya yang mengepul. Tiba-tiba perutku terasa mual. Tapi coba kutahankan. Aku tak mau Pak tua itu marah atau merasa tersinggung dengan sikap penolakkanku pada dagangannya.

“Seperti temulawak pada jamu, ya, rasanya,” bibirku sedikit mengkerut, menahan rasa mual.

“Dahulu minuman itu jadi bintang buat pejuang Batavia yang harus melawan dingin dalam perlawanan VOC,” wajah Pak Zainul tampak menerawang. Ada genang di sudut kelopak tuanya. Entah, apa yang dia rasakan dengan aroma minuman yang berasa jamu ini. Rasanya aneh di tenggorokanku. Agak pedas, tapi hangat macam jahe campur temulawak.

“Lumayan, buat penghangat badan, Pak” Aku berbohong. Pak tua itu masih terus saja menceracau tentang kebesaran perjuangan masa Hindia belanda menduduki Batavia, Ibukota Jakarta sekarang.
“Bapak dulu ikut berjuang, ya?” Aku mencoba akrab.

‘Ya, begitulah, Nak. Cuma jadi pejuang biasa. Makanya Bapak berjualan minuman Bir Pletok ini, hitung-hitung melestarikan minuman tempo dulu,” ujarnya lagi sambil tertawa. Terlihat jelas dua butir gigi gerahamnya telah tanggal dimakan usia. Aku menimpali senyumnya sedikit kecut, menahan panas di lidah akibat berusaha menghabiskan minuman berasa aneh itu. sejenak, hawa hangat mengaliri tenggorokkanku.

Sebuah pesan singkat dari Dani menyergap pandangan mataku. Kumatikan ponselku, kesal. Ah, gagal lagi, batal lagi, umpatku gemas. Budaya ngaret dan batal membatalkan janji, memang jagonya, sahabatku itu. Aku membayar harga minumanku dan bangkit menuju sepeda motorku yang terparkir manis di tepi danau.

“Terima kasih, Pak. Saya pamit, ya,” kataku sopan dan segera tancap gas. Pulang! Pak zainul hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya penuh segan.
***
Jalan begitu gelap, dan lampu depan motor Mioku tampak payah menatap jalan. Aku mulai gelisah, jujur, aku takut di jalan lengang dan sepi ini. Kutengok Seiko di pergelangan tanganku, menunjuk angka 00.00. Hah? Sudah tengah malam? Cepat sekali waktu berlalu dan aku masih di jalan sialan ini, makiku seorang diri. Hapeku lowbet, ipad habis batere, dan aku bersama motor Mio yang tersendat jalannya. Masya Allah? Mau minta tolong pada siapa?

Ah, andai tak buat janji bersama Dani tadi siang di kampus, pasti keadaan konyol ini takkan kualami. Keringat telah mengucur hebat dari pelipisku, ketika tiba-tiba dari arah rerimbunan pohon, tiga orang anak muda mencoba mengambil motorku. Sorot mata mereka tampak beringas tak terkendali.

Aku mundur selangkah, dan …, salah seorang meninju mulutku hingga tetesan merah darah mengucur deras dari robekkan kulit mulutku. Aku marah, kubalas menangkis serangan tiga lawan satu itu dengan sekuat tenaga. Tapi tenaga dan badan mereka, kawanan begal itu, lebih kuat dan menyeramkan sekali. Dadaku sesak, oleh pukulan bertubi. salah seorang membawa lari motorku. Lalu gelap, tapi aku masih mencoba menangkis serangan mereka.

Pada satu pukulan salah seorang berhasil meninju lututku, dan aku ambruk ke tanah. Sial! Aku tak tahu bagaimana nasib sepeda motorku. Cuma gelap yang terlihat ketika itu. Bersamaan samar kudengar suara orang berteriak dan mendekat ke arahku. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Pagi ini kupikir pagi terakhir bagiku. Ketika kubuka mata, semua mata mengalirkan air mata. Ada Ibu, Bapak dan kekasihku, Cinta.

“Di mana aku?” tanyaku lemah, susah sekali ingin bicara bak beratus ton beban tersekat dalam tenggorokkan. Ibu memelukku hangat, Bapakku juga. Cinta memegangi jemari tanganku. Di sudut matanya kulihat bebutir kristal bening berjatuhan. Oh, ada apakah ini? Kenapa semua menangisiku? Sudut hatiku seperti mati, beku.

“Pak Zainul? Bapak ada si sini juga?” tanyaku pilon. Tapi jujur, aku tak mengerti, kenapa si penjual Bir Pletok itu ada juga di dekatku.

“Syukurlah, kau telah sadar, Nak. Bapak Zainul yang menolongmu saat motormu diambil kawanan perampok.” Lembut suara Ibu terdengar di telingaku. Tangan halusnya membelai ujung ikal rambutku. Aku masih amnesia. Kutatap nanar satu per saatu wajah-wajah orang yang kucintai. Dan terakhir, wajah pak zainul, penjual Bir Pletok itu.

“Aden pingsan dengan kondisi berlumuran darah, beruntung ada Pak Polisi berpatroli malam itu, jadi Bapak meminta pertolongan,” suara Pak Tua membuat peluh menderas lagi di keningku. Suasana bentrokkan malam itu terpeta lagi dalam benakku seperti mimpi buruk yang menduri dalam daging. Aku menjerit, berteriak histeris. Ayah dan Ibu sampai pucat melihat kondisiku. Cinta bahkan lebih dulu memelukku sambil berhujan tangis.

***

“Pesan segalon Bir Pletok, Pak!” kataku pada sosok tua yang masih saja setia berjualan di tepi danau Situ Babakan. Disambutnya aku dengan tulus layaknya pelanggan istimewa. Ah, maafkan, aku, Pak Tua, engkaulah yang teramat istimewa bagi hidupku. Karena engkau telah menyelamatkanku dari maut, bisikku pada angin dingin di malam aku kembali mengunjungi gerobak Pak zainul hanya sekedar mencicipi minuman yang dulu aku tak suka mereguknya.

“Mari, mari, Den. Masih panas, semoga bisa menghangatkan malammu, ya,” sambut Pak Tua lagi ramah.

Luka-luka di tubuhku akibat perampokkan sepeda motorku tak lagi terasa kini. Yang tersirat hanyalah rasa kagum, sekaligus tekad untuk turut melestarikan minuman Bir Pletok seperti Pak Zainul.

“Maafkan semua kesalahan saya, ya, Pak?” kataku terbata. Tak lagi bisa kusembunyikan rasa sesalku. Tinggal Pak Tua melongo bingung menanggapi ucapanku barusan. Itulah ketulusan, tanpa pamrih, Bimo! Belajarlah dari Pak Zainul, suara hatiku memekik lirih, menyadarkanku akan kewajiban melestarikan budaya kota tercintaku, Jakarta. Angin dingin Jakarta, malam itu terasa mencibir kepongahanku pada sosok seperti pak Tua. Kini aku menyesalinya.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun