‘Ya, begitulah, Nak. Cuma jadi pejuang biasa. Makanya Bapak berjualan minuman Bir Pletok ini, hitung-hitung melestarikan minuman tempo dulu,” ujarnya lagi sambil tertawa. Terlihat jelas dua butir gigi gerahamnya telah tanggal dimakan usia. Aku menimpali senyumnya sedikit kecut, menahan panas di lidah akibat berusaha menghabiskan minuman berasa aneh itu. sejenak, hawa hangat mengaliri tenggorokkanku.
Sebuah pesan singkat dari Dani menyergap pandangan mataku. Kumatikan ponselku, kesal. Ah, gagal lagi, batal lagi, umpatku gemas. Budaya ngaret dan batal membatalkan janji, memang jagonya, sahabatku itu. Aku membayar harga minumanku dan bangkit menuju sepeda motorku yang terparkir manis di tepi danau.
“Terima kasih, Pak. Saya pamit, ya,” kataku sopan dan segera tancap gas. Pulang! Pak zainul hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya penuh segan.
***
Jalan begitu gelap, dan lampu depan motor Mioku tampak payah menatap jalan. Aku mulai gelisah, jujur, aku takut di jalan lengang dan sepi ini. Kutengok Seiko di pergelangan tanganku, menunjuk angka 00.00. Hah? Sudah tengah malam? Cepat sekali waktu berlalu dan aku masih di jalan sialan ini, makiku seorang diri. Hapeku lowbet, ipad habis batere, dan aku bersama motor Mio yang tersendat jalannya. Masya Allah? Mau minta tolong pada siapa?
Ah, andai tak buat janji bersama Dani tadi siang di kampus, pasti keadaan konyol ini takkan kualami. Keringat telah mengucur hebat dari pelipisku, ketika tiba-tiba dari arah rerimbunan pohon, tiga orang anak muda mencoba mengambil motorku. Sorot mata mereka tampak beringas tak terkendali.
Aku mundur selangkah, dan …, salah seorang meninju mulutku hingga tetesan merah darah mengucur deras dari robekkan kulit mulutku. Aku marah, kubalas menangkis serangan tiga lawan satu itu dengan sekuat tenaga. Tapi tenaga dan badan mereka, kawanan begal itu, lebih kuat dan menyeramkan sekali. Dadaku sesak, oleh pukulan bertubi. salah seorang membawa lari motorku. Lalu gelap, tapi aku masih mencoba menangkis serangan mereka.
Pada satu pukulan salah seorang berhasil meninju lututku, dan aku ambruk ke tanah. Sial! Aku tak tahu bagaimana nasib sepeda motorku. Cuma gelap yang terlihat ketika itu. Bersamaan samar kudengar suara orang berteriak dan mendekat ke arahku. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Pagi ini kupikir pagi terakhir bagiku. Ketika kubuka mata, semua mata mengalirkan air mata. Ada Ibu, Bapak dan kekasihku, Cinta.
“Di mana aku?” tanyaku lemah, susah sekali ingin bicara bak beratus ton beban tersekat dalam tenggorokkan. Ibu memelukku hangat, Bapakku juga. Cinta memegangi jemari tanganku. Di sudut matanya kulihat bebutir kristal bening berjatuhan. Oh, ada apakah ini? Kenapa semua menangisiku? Sudut hatiku seperti mati, beku.
“Pak Zainul? Bapak ada si sini juga?” tanyaku pilon. Tapi jujur, aku tak mengerti, kenapa si penjual Bir Pletok itu ada juga di dekatku.
“Syukurlah, kau telah sadar, Nak. Bapak Zainul yang menolongmu saat motormu diambil kawanan perampok.” Lembut suara Ibu terdengar di telingaku. Tangan halusnya membelai ujung ikal rambutku. Aku masih amnesia. Kutatap nanar satu per saatu wajah-wajah orang yang kucintai. Dan terakhir, wajah pak zainul, penjual Bir Pletok itu.