Luthfi menuturkan kepada saya, bahwa ada aset senilai 300-an miliar rupiah yang sempat disebutkan di persidangan milik First Travel. Namun pada faktanya, aset sebesar ini, tak pernah kunjung bisa dibuktikan.
Aset First Travel hanya tersisa 25 miliar rupiah saja dari total seharusnya lebih dari 900 miliar, urunan 63 ribu jemaahnya.
"Saat sidang, saya mendengar, ada aset sekitar 300 miliar, yang disebutkan oleh pengacara Terdakwa." Luthfi kepada saya di program AIMAN (25/11/2019)
Saya berupaya lebih. Saya bertanya kepada Kepala Biro Humas Mahmkamah Agung (MA) Abdullah. Selain soal putusan yang disebutkan memang sudah benar apa yang diketuk hakim kasus First Travel.
Sebab untuk kasus pidana (kasus First Travel diputus pada perkara Tindak Pindana Pencucian Uang- TPPU) dalam hukum acara pidana, tidak ada pasal yang bisa mengembalikan uang kepada selain negara.
Bagaimana soal aset?
Soal aset yang disebutkan berkurang jauh, sebuah peradilan adalah menyidangkan perkara, dan membukanya agar terang benderang kepada masyarakat.
"Perihal barang bukti merupakan ranah penyelidik, penyidik, dan penuntut yang berada di wilayah Polisi dan Kejaksaan." jelas Abdullah, saat saya wawancara.
Lalu dimana aset senilai ratusan miliar ini berada?
Mantan hakim yang kini menjadi pengajar di Universitas Trisakti, Jakarta, Asep Iwan mengungkapkan peristiwa ini bukanlah yang pertama terjadi. Saat ia masih menjadi hakim, ia pernah meyidangkan kasus serupa kasus biro perjalanan haji dan umrah, Tiga Utama.
Sebuah kasus biro perjalanan terbesar saat itu, Tiga Utama yang kerap memberangkatkan banyak pejabat, hingga Presiden Soeharto. Aset dari kasus-kasus yang berproses hukum, tidak pernah ada yang bisa dihitung secara pasti, sesuai dengan perhitungan matematika. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi semua penegak hukum yang harus memperbaiki kinerja soal ini.