Kotak kosong ini bisa jadi tidak mewakili kotak kosong yang nyata. Karena di Makassar, sedianya ada 2 pasang calon walikota.
Pertama adalah calon tunggal saat ini, Munafri Arifuddin --Rachmatika (lebih dikenal dengan pasangan Calon Walikota & Wakilnya Appi-Cicu), dan kedua adalah petahana Ramdan "Danny" Pomanto-Indira. Belakangan Danny Pomanto, didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung akibat laporan pasangan Appi-Cicu.Â
Danny meskipun petahana, dan punya hasil elektabilitas surveim tinggi, tetapi tidak ada parpol yang mendekat, hingga harus maju melalui jalur independen, mengumpulkan lebih dari seratus ribu KTP warga Makassar.
Namun ia didiskualifikasi terkait pembagian Telepon Selular pada ketua RT/RW yang dianggap sebagai Money Politic. Meski terkait hal ini, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono membela Danny. Soni membantah pembagian HP, bukanlahMoney Politic, melainkan bagian dari program kerja untuk memperlancar komunikasi RT/RW langsung dengan walikotanya.Â
Banyak pengamat politik menyimpulkan, bahwa Kotak Kosong ini adalah perwakilan Danny Pomanto. Beberapa di antaranya adalah Djayadi Hanan, peneliti SMRC dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu & Demokrasi (PERLUDEM), Titi Anggraeni. Ada keresahan di tengah warga Makassar yang menyebabkan kotak kosong tak menjadi pilihan kosong. Ia seolah menjadi simbol perlawanan terhadap proses Pilkada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.Â
CALON TUNGGAL TETAP MELAWAN!
Meski, belum tentu proses berhenti di hasil akhir KPU. Pasangan Appi-Cicu, melalui wawancara saya dengan Munafri Arifuddin (Appi), mengatakan bahwa kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar adalah sebuah anomali. Appi bahkan memiliki data, kecurangan dari pihak Danny Pomanto yang menggerakkan masyarakat untuk memilih kotak kosong, saat menjabat Walikota Makassar. Pasangan ini, berniat akan melakukan perlawanan lewat Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Apapun hasilnya nanti, tidak boleh ada kecurangan oleh siapapun pihak manapun, pada proses Pilkada. Karena Demokrasi mensyaratkan kejujuran. Jika tidak, maka akan tercoreng dalam sejarah negeri, karena masyarakat dan media, tidak mampu menjadi pengawal kontestasi!
 Jangan!
 Saya Aiman Witjaksono,
Salam!