Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Satu Ruang dan Waktu

17 Juni 2022   05:58 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:00 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul 3 sore.

Tempat ini sangat hening. Barisan pepohonan tumbuh tinggi dan besar. Cahaya matahari yang menyengat hanya mampu menyusup lewat celah-celah dahan yang rapat. Sesekali perawat berlalu-lalang di koridor membawa tumpukan kertas. Ada pula yang mendorong troli berisi obat-obatan untuk didistribusikan ke setiap ruangan. 

Pegawai kebersihan sibuk menyapu halaman. Suara gesekan sapu lidi dengan tanah menjadi musik akustik yang menambah kesan damai. Lantas, di deretan bangku tunggu, tepatnya di barisan pertama bangku itu, duduk dua orang wanita. Ani adalah wanita dengan rambut kuncir kuda dan Ina adalah wanita yang membiarkan rambut panjangnya tergerai.

Mereka termenung dengan pikiran masing-masing. Jangan tanyakan siapa yang lebih cantik, sebab wajah mereka terhalang oleh kain tiga lapis. Maklum, sedang ada wabah virus di kota mereka. Siapapun yang terjangkit virus tersebut harus segera diisolasi dan mendapat perawatan sebelum terlambat. Sedangkan untuk pencegahan, warga kota diminta untuk mengenakan masker dan menjaga jarak.

“Siapa yang sakit, Mbak?” Ani memulai pembicaraan.

“Suami saya,” jawab Ina dibubuhi senyum seperlunya. “Kalau Mbak sendiri... menunggu siapa?” tanyanya usai membiarkan hening mendekap sesaat, sebab ia baru saja tersadar jika tidak balas bertanya mungkin akan meninggalkan kesan tak acuh terhadap lawan bicara.

“Bapak saya.” Ani menghela napas panjang. “Saya nggak menyangka kalau hal seperti ini akan terjadi juga,” imbuhnya.

Ina membenarkan dengan anggukan kepala pelan.

“Saat diberitahu pihak rumah sakit kalau Bapak terjangkit virus itu, rasanya tidak percaya. Kami sekeluarga rajin mengenakan masker, cuci tangan, juga menjaga jarak. Kami patuhi protokol kesehatan. Sehabis keluar rumah pun langsung mandi, baju juga segera dicuci. Eh, ternyata tetap kecolongan juga,” jelas Ani.

Ina lagi-lagi menganggukkan kepala. Dia pun telah melakukan hal serupa, bahkan setiap hari rumahnya rutin disemprot desenfektan, tapi kecolongan juga.

“Saat dibawa ke rumah sakit kondisinya sudah parah, Mbak. Kami sekeluarga sebetulnya mulai pasrah. Toh Bapak memang sudah tua, sistem imunnya tidak sebagus anak-anak muda. Eh, nggak tahunya survive juga. Sekitar sejam lalu ditelepon pihak rumah sakit dan dikabari kalau Bapak saya sudah boleh pulang setelah dirawat cukup lama.”

Ina kembali menganggukkan kepala. Di balik masker yang dikenakan, bibirnya tersimpul samar. “Dirawatnya berapa hari?”

“Dua puluh satu hari, Mbak!” tegas Ani. Nada bicaranya seakan ingin mempertegas bahwa ayahnya telah dirawat selama itu, tidak ada lagi harapan hidup, suatu keajaiban masih bisa sembuh.

“Umur?”

“Enam lima.”

Ina mengangguk-angguk.

“Mbak datang sendiri?” tanya Ina setelah terjeda hening beberapa detik.

“Nanti adik saya menyusul sekalian bawa mobil. Saya buru-buru ke sini karena sudah nggak sabar bertemu bapak saya lagi.” Ani tersenyum. “Oh ya, kalau suami Mbak sendiri dirawat berapa lama?”

“Cuma tiga hari, Mbak.”

Sepasang mata Ani melebar karena takjub. “Umur berapa suaminya?”

“Tiga puluh tahun. Dulunya, kami teman seangkatan kuliah, lanjut kerja satu kantor, akhirnya menikah dan pindah ke kota ini.”

Ani mengangguk-angguk lagi. Takjub sekali lagi. Usia yang sama dengan dirinya. Hanya saja Ani belum bertemu jodoh, sedangkan Ina sudah membina bahtera rumah tangga. Dan jika diperhatikan dari sikap Ina yang lemah lembut dan dewasa, kemungkinan Ina telah memiliki seorang anak. Begitu penilaian singkat Ani tehadap wanita yang duduk berjarak dua kursi di sebelahnya ini.

Keduanya kembali diam karena kehabisan bahan obrolan. Bunyi telepon dua tiga kali terdengar. Dari adik Ani yang mengabarkan sudah standby di depan rumah sakit. Dari anggota keluarga Ina yang bertanya perihal kepulangan sang suami. Dari keluarga Ani yang merencanakan menggelar acara syukuran atas kepulangan sang ayah.

Menit demi menit berlalu hingga kemunculan perawat yang mendorong kursi roda seorang pria tua menjadi tanda pertemuan kedua wanita sebaya itu harus berakhir.

“Mbak, saya pamit dulu ya. Kapan-kapan semoga bisa bertemu lagi,” ucap Ani seraya undur diri. Ia berjalan cepat menghampiri sang ayah, mengucapkan terima kasih kepada perawat dan melambaikan tangan ke arah Ina sebelum benar-benar beranjak dari tempatnya. Ina balas dengan cara serupa, dengan gerakan yang lebih halus.

“Suami Mbak itu juga pulang hari ini, Pak.” Ucapan riang Ani kepada sang ayah terdengar samar-samar di pendengaran Ina, memancingnya untuk mengulum bibir. Bukan tersenyum, melainkan menahan getir.

Ternyata wanita tadi sudah salah paham, pikirnya.

Seorang perawat kembali muncul dari sebuah ruangan, menyebutkan nama suami Ina. Ina segera bangkit dari kursi tunggu, berjalan mendekat dengan langkah yang dipaksakan tetap tegak.

“Jenazah sudah selesai dibersihkan, sebentar lagi akan diantar menuju tempat pemakaman. Kami ingin mengonfirmasi sekali lagi lokasi pemakamannya ....” Perawat menjelaskan banyak hal kepada Ina perihal proses kepulangan sang suami, menunjukkan beberapa berkas yang perlu ditandatangani, lalu diakhiri dengan kalimat belasungkawa dan kembali undur diri untuk mengurus keperluan lain.

Ina menarik napas dalam-dalam. Meyakinkan diri agar mampu menerima kenyataan yang sulit dilalui. Dari matanya tak nampak seberkas airmata mengalir, sebab ia telah melakukannya berulang kali beberapa menit yang lalu, saat sedang seorang diri.

Tak pernah terpikir olehnya, sebuah pernikahan yang baru dibina sebulan lalu harus berakhir, bukan karena perceraian, tapi oleh kematian. Padahal suaminya masih tergolong muda dibanding ayah Ani yang telah renta. Padahal kondisi suaminya masih nampak baik-baik saja.

Padahal suami dan ayah Ani tertular virus yang sama, dirawat di tempat yang sama. Padahal Ani dan Ina bersamaan mendapat kabar tentang pulang, tetapi makna pulang bagi keduanya ternyata tak sama. Kata pulang itu ternyata bisa mencipta rasa yang berbeda.

Begitulah adanya. Seperti itu masa bercerita, bahwa dalam ruang dan waktu yang sama, kisah hidup setiap orang bisa berbeda. Perbedaan itu akan tetap ada. Tak perlu diperselisihkan. Tak perlu dibanding-bandingkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun