Ani mengangguk-angguk lagi. Takjub sekali lagi. Usia yang sama dengan dirinya. Hanya saja Ani belum bertemu jodoh, sedangkan Ina sudah membina bahtera rumah tangga. Dan jika diperhatikan dari sikap Ina yang lemah lembut dan dewasa, kemungkinan Ina telah memiliki seorang anak. Begitu penilaian singkat Ani tehadap wanita yang duduk berjarak dua kursi di sebelahnya ini.
Keduanya kembali diam karena kehabisan bahan obrolan. Bunyi telepon dua tiga kali terdengar. Dari adik Ani yang mengabarkan sudah standby di depan rumah sakit. Dari anggota keluarga Ina yang bertanya perihal kepulangan sang suami. Dari keluarga Ani yang merencanakan menggelar acara syukuran atas kepulangan sang ayah.
Menit demi menit berlalu hingga kemunculan perawat yang mendorong kursi roda seorang pria tua menjadi tanda pertemuan kedua wanita sebaya itu harus berakhir.
“Mbak, saya pamit dulu ya. Kapan-kapan semoga bisa bertemu lagi,” ucap Ani seraya undur diri. Ia berjalan cepat menghampiri sang ayah, mengucapkan terima kasih kepada perawat dan melambaikan tangan ke arah Ina sebelum benar-benar beranjak dari tempatnya. Ina balas dengan cara serupa, dengan gerakan yang lebih halus.
“Suami Mbak itu juga pulang hari ini, Pak.” Ucapan riang Ani kepada sang ayah terdengar samar-samar di pendengaran Ina, memancingnya untuk mengulum bibir. Bukan tersenyum, melainkan menahan getir.
Ternyata wanita tadi sudah salah paham, pikirnya.
Seorang perawat kembali muncul dari sebuah ruangan, menyebutkan nama suami Ina. Ina segera bangkit dari kursi tunggu, berjalan mendekat dengan langkah yang dipaksakan tetap tegak.
“Jenazah sudah selesai dibersihkan, sebentar lagi akan diantar menuju tempat pemakaman. Kami ingin mengonfirmasi sekali lagi lokasi pemakamannya ....” Perawat menjelaskan banyak hal kepada Ina perihal proses kepulangan sang suami, menunjukkan beberapa berkas yang perlu ditandatangani, lalu diakhiri dengan kalimat belasungkawa dan kembali undur diri untuk mengurus keperluan lain.
Ina menarik napas dalam-dalam. Meyakinkan diri agar mampu menerima kenyataan yang sulit dilalui. Dari matanya tak nampak seberkas airmata mengalir, sebab ia telah melakukannya berulang kali beberapa menit yang lalu, saat sedang seorang diri.
Tak pernah terpikir olehnya, sebuah pernikahan yang baru dibina sebulan lalu harus berakhir, bukan karena perceraian, tapi oleh kematian. Padahal suaminya masih tergolong muda dibanding ayah Ani yang telah renta. Padahal kondisi suaminya masih nampak baik-baik saja.
Padahal suami dan ayah Ani tertular virus yang sama, dirawat di tempat yang sama. Padahal Ani dan Ina bersamaan mendapat kabar tentang pulang, tetapi makna pulang bagi keduanya ternyata tak sama. Kata pulang itu ternyata bisa mencipta rasa yang berbeda.