“Saat dibawa ke rumah sakit kondisinya sudah parah, Mbak. Kami sekeluarga sebetulnya mulai pasrah. Toh Bapak memang sudah tua, sistem imunnya tidak sebagus anak-anak muda. Eh, nggak tahunya survive juga. Sekitar sejam lalu ditelepon pihak rumah sakit dan dikabari kalau Bapak saya sudah boleh pulang setelah dirawat cukup lama.”
Ina kembali menganggukkan kepala. Di balik masker yang dikenakan, bibirnya tersimpul samar. “Dirawatnya berapa hari?”
“Dua puluh satu hari, Mbak!” tegas Ani. Nada bicaranya seakan ingin mempertegas bahwa ayahnya telah dirawat selama itu, tidak ada lagi harapan hidup, suatu keajaiban masih bisa sembuh.
“Umur?”
“Enam lima.”
Ina mengangguk-angguk.
“Mbak datang sendiri?” tanya Ina setelah terjeda hening beberapa detik.
“Nanti adik saya menyusul sekalian bawa mobil. Saya buru-buru ke sini karena sudah nggak sabar bertemu bapak saya lagi.” Ani tersenyum. “Oh ya, kalau suami Mbak sendiri dirawat berapa lama?”
“Cuma tiga hari, Mbak.”
Sepasang mata Ani melebar karena takjub. “Umur berapa suaminya?”
“Tiga puluh tahun. Dulunya, kami teman seangkatan kuliah, lanjut kerja satu kantor, akhirnya menikah dan pindah ke kota ini.”