Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Prasangka

19 Maret 2022   10:09 Diperbarui: 7 Juni 2022   04:47 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: t.me/ https://id.pinterest.com/pin/6403624462040291/

Ada dua kabar yang sedang menjadi buah bibir warga dusun Berbintang, tentang Sang Putra yang menjadi abdi Nusa dan Sang Putri yang gagal menyandang gelar serupa. Warga tanpa henti menyanjung Sang Putra, juga tanpa lelah menyinggung kegagalan Sang Putri. Mereka lantas menyimpulkan bahwa Sang Putra lebih pandai dibanding Sang Putri, sebab untuk menjadi seorang abdi Nusa sangat sulit. Karenanya, siapapun yang berhasil meraih gelar tersebut akan memiliki kedudukan sosial tinggi, disegani serta dihormati.

Penilaian warga Berbintang tentu melukai hati Sang Putri. Selama ini kepintarannya dianggap lebih tinggi daripada Sang Putra. Namun, akibat kegagalan menjadi abdi Nusa, pendapat orang-orang berubah, semudah membalikkan telapak tangan.

“Aku masih tidak menyangka bisa terpilih menjadi abdi Nusa, padahal tidak belajar. Tidak juga ada niat. Hanya coba-coba!” Pengakuan Sang Putra menambah derita hati Sang Putri. Ada perasaan tidak terima lantaran selama ini ia belajar tanpa henti demi mewujudkan mimpi menyandang gelar terpandang itu, tetapi ternyata dirinya harus kalah dari Sang Putra yang lolos karena faktor keberuntungan.

“Jangan patah semangat, Put. Jangan menyerah! Ujian masuk berikutnya, aku yakin kamu akan berhasil,” ujar Sang Putra saat menyadari ada kesedihan di paras kawannya.

Sang Putri memaksakan senyuman, meneguhkan diri untuk berjuang kembali menghadapi ujian masuk abdi Nusa. Dia tak akan menerapkan metode yang sama. Tidak ada belajar. Tidak ada niat sepenuh hati. Sang Putri akan meniru cara Sang Putra. Dengan begitu, ia pasti akan berhasil. Dengan begitu, warga dusun Berbintang akan mengakui kepandaiannya lagi.

Bulan bergulir. Fase demi fase terlewati, terulang sebanyak delapan belas kali. Ketika Sang Putra telah disibukkan dengan tugas abdi Nusa, Sang Putri harus kembali menelan kepahitan. Tiga kali mengikuti ujian abdi Nusa, tiga putaran itu pula dirinya gagal. Kegagalan yang terakhir bahkan mencetak skor ujian sangat rendah.

Warga Berbintang akhirnya berpikir bahwa Sang Putri bukan saja tak pandai, tapi juga tidak memiliki keberuntungan. Sang Putri pun mulai meragukan kemampuan diri sendiri. Hilang pula hasrat untuk maju. Dia merasa selalu jalan di tempat, semakin tertinggal dari Sang Putra yang menorehkan banyak prestasi di dunia abdi Nusa.

“Jangan menyerah! Cobalah sekali lagi, siapa tahu akan berhasil,” saran Sang Putra.

Sang Putri menggeleng lemah. Pikirannya sedang sibuk menemukan akar masalah yang membuatnya gagal bertubi-tubi. Bagian mana yang belum disamakan dengan Sang Putra sehingga hasil yang diperoleh berbeda. Satu ide muncul di kepala, Sang Putri pun berkata, “Pinjamkan aku buku belajarmu saat mengikuti ujian masuk abdi Nusa. Akan kucoba sekali lagi.”

Sang Putra bergegas mengumpulkan buku belajar dan menyerahkannya kepada Sang Putri. Sang Putri meneliti satu per satu tumpukan buku milik Sang Putra. Ekspresi murka terbit di parasnya.

“Selama ini kau menipuku! Katanya tidak belajar, tapi apa ini! Banyak sekali catatan yang kamu buat. Apanya yang tidak belajar? Apanya yang hanya coba-coba? Dasar pembohong!”

“Aku memang hanya coba-coba mengikuti ujian masuk abdi Nusa, memanfaatkan peluang yang ada. Sama sekali tidak ada niatan ataupun berharap akan terpilih. Kau pun tahu jika impianku bukanlah menjadi abdi Nusa, Put!” jelas Sang Putra.

“Tapi catatanmu sangat banyak! Dusta sekali jika kamu mengatakan tidak belajar!” teriak Sang Putri.

“Aku membuat catatan agar lebih mudah dalam belajar. Kamu pun melakukan hal yang sama, ‘kan? Aku mengaku padamu kalau tidak belajar karena sadar kemampuan belajarku masih tertinggal darimu. Kau selalu lebih pandai dan rajin dibandingkan aku.”

Sang Putri terkatup mendengar jawaban itu. Perlahan, kedua matanya memerah. Kaki pun terasa lemas sehingga ia terduduk di tanah. “Jadi, kamu hanya merendah di hadapanku? Ternyata, kamu tetap belajar meski hanya coba-coba mengikuti ujian masuk abdi Nusa,” gumamnya. Airmata membasahi sisi wajah.

“Selama ini kupikir kamu sungguh tidak belajar. Lolos abdi Nusa hanya karena kebetulan. Jadi, aku meniru caramu. Berharap dengan begitu, aku akan lolos sepertimu.” Sang Putri tergugu, sementara Sang Putra tercenung. Ia akhirnya tahu alasan nilai Sang Putri semakin buruk di ujian masuk abdi Nusa.

Sang Putri terisak pedih. Merasa bodoh telah mempercayai ucapan Sang Putra dengan serta-merta kala itu. Buruknya lagi, ia senantiasa menganggap Sang Putra tidak lebih hebat darinya dan menilai apapun yang diperoleh Sang Putra hanya sebuah keberuntungan. Namun, catatan belajar milik pemuda itu menunjukkan fakta dengan jelas. Sang Putra berhasil karena usaha yang dilakukan, bukan atas dasar keberuntungan atau kebetulan semata.

“Cobalah lagi. Kali ini, lakukan berdasarkan dirimu sendiri.”

Sang Putri tak berkomentar apapun. Ia terperangkap pada beragam penyesalan. Bukan hanya menyesal telah merendahkan teman sendiri, tetapi juga telah banyak waktu yang disia-siakannya hanya untuk menjadi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun