“Ikan Buntal.” Pak Rio tertawa mengingat betapa lahap kedua putrinya setiap kali berkunjung ke Jepang dan menyantap masakan teman berbisnis yang berprofesi sebagai koki. Sayangnya, baik Ciara ataupun Qiana tidak pernah tahu wujud ikan yang mereka santap.
“Jadi, ikan Buntal nggak beracun?” Qiana meragu.
Sepengetahuan Qiana, ikan Buntal mengandung racun bernama Tetraodotoksin. Sedikit saja racun itu ada di dalam tubuh, maka hidup kita tidak akan terselamatkan. Artinya, siapapun yang mengonsumsi ikan Buntal, sudah pasti akan meregang nyawa. Nama racunnya saja tersematkan dengan apik sebagai nama ilmiah ikan Buntal, menjadi suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
“Ya jelas nggak dong, Kak! Kalau beracun, mana mungkin kita masih hidup.” Ciara tertawa. Tawanya menular pada sang ayah.
Pak Rio menanggalkan kacamatanya. “Ikan Buntal memang ikan yang beracun. Tetapi tidak semua bagian tubuhnya mengandung racun. Karenanya, tidak sembarang orang boleh mengolah ikan Buntal. Harus koki yang memiliki lisensi dan pengetahuan yang sangat baik tentang bagian tubuh ikan Buntal agar ikan tersebut dapat dikonsumsi secara aman.”
Qiana hendak melontarkan pertanyaan lagi, namun melihat Ciara baru saja menguap, ia mengurungkan niat. Qiana dan Pak Rio akhirnya keluar dari kamar Ciara, membiarkan si bungsu untuk segera terlelap.
“Qiana nggak berpikiran kalau racun ikan Buntal karena kutukan Peri Air, kan?” tanya Pak Rio setelah menutup kamar Ciara. Si sulung terkekeh dan menggeleng cepat.
“Racun ikan Buntal berada di organ hati, kelenjar kelamin, saluran pencernaan dan kulit. Itu karena di alam, ikan buntal memakan plankton dinoflagelata. Plankton itulah yang beracun dan jika termakan oleh ikan lain menyebabkan kematian. Ketika ikan Buntal dimusnahkan oleh warga, ekosistem perairan menjadi tidak seimbang, plankton yang merugikan tidak ada yang makan sehingga meracuni ikan lainnya.” Pak Rio menjawab rasa penasaran yang tertahan di pikiran Qiana. Qiana mencerna penjelasan analoginya dengan baik, membuatnya tersenyum.
“Menarik ya, Pa.”
Pak Rio mengangguk. “Itulah ciptaan Tuhan, Qiana. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang diciptakan sia-sia. Jadi, kita pun tidak boleh menyia-siakan waktu yang kita punya.” Pak Rio kembali tersenyum. “Sudah malam, saatnya tidur.”
Qiana mengangguk patuh dan berjalan menuju kamarnya.