Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Latata

1 November 2020   14:15 Diperbarui: 1 November 2020   14:17 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sang raja telah bangkit dari ufuk timur. Menimbulkan semburat oranye di cakrawala. Cahayanya berpendar luas, melingkupi desa cantik bernama Aera. Lalu, penduduknya berhamburan memulai aktivitas. Ada yang mencari nafkah, menimba ilmu, membahas jejak hidup sesama manusia, memuja Dewa kehidupan dan masih banyak kegiatan yang tak terdefinisi lainnya. Itu adalah sepenggal rutinitas yang akan mengelilingi makhluk kecil yang baru saja lahir di dunia ini. Dialah sang tokoh utama. Latata namanya.

Latata. Begitu Sang Ayah memberinya nama dengan perasaan penuh cinta kasih akan kelahiran Si buah hati. Seperti namanya, putri kecil itu didoakan agar kelak hidupnya bermanfaat bagi orangtua, bangsa dan negara. Tumbuh menjadi putri yang cantik dan pintar.

Doa-doa itu terkabul. Latata memliki paras rupawan yang sudah terlihat sejak tahun keempat ia dilahirkan. Keelokannya dikagumi siapa saja yang melihat, diiringi harapan agar kelak mereka juga memiliki anak yang menawan seperti Latata.

“Dalam hal membaca, Latata masih tertinggal. Namun jika terus dilatih, saya yakin dia akan mampu mengejar ketertinggalannya. Selain itu, kalau saya perhatikan Latata suka melukis. Gambarnya juga bagus. Karena itu, saya mendaftarkan Latata pada festival menggambar yang diselenggarakan dua hari lagi,” jelas seorang pendidik wanita pada orangtua Latata.

“Maaf sekali, nampaknya Latata tidak bisa mengikuti festival tersebut. Lusa, kami akan pergi ke desa lain, ada urusan yang sangat penting.” Begitu Ayah Latata beralasan. Pasangan suami istri itu pun kembali ke rumah dan segera mengerahkan usaha untuk memperbaiki kemampuan Latata.

“Teman-teman kamu sudah bisa membaca semua, Latata. Jika kamu tetap tidak pandai membaca, lalu kamu mau menjadi apa? Rajinlah belajar! Jangan jadi anak pemalas. Ayah tidak suka memiliki anak yang bodoh.” Manik biru Latata yang bagai berlian basah berulang kali, lalu ia akan melanjutkan kegiatan belajarnya.

Latata bodoh. Latata tidak bisa membaca.’ Tulis gadis kecil bersurai kecokelatan itu di lembar kertasnya berulang kali. Hatinya cukup lega usai memaki diri sendiri, lalu belajar lagi.

Hasil belajarnya berbuah manis. Latata mampu menyamai kemampuan membaca teman-temannya, bahkan menyainginya.

“Ibundaku memintaku untuk berteman denganmu, Latata. Soalnya kamu pintar,” ucap seorang teman pada Latata. Tentu, Latata riang mendengar itu. “Nanti saat ujian berhitung, beritahu aku jawabannya ya,” imbuh temannya. Latata mengangguk penuh keyakinan. Bagi Latata, tidak masalah untuk berbagi jawaban ujian, yang terpenting ia memiliki banyak kawan.

“Kenapa hanya mendapat tiga bintang, Latata? Teman kamu yang lain ada yang dapat lima bintang tidak?” Ujar Sang Ibu kecewa melihat hasil ujian ilmu alam Latata.

“Tidak ada, Ibunda. Tapi ada yang mendapat empat bintang. Ujiannya susah, Ibunda. Latata tidak mengerti,” jawab Latata. Usianya menginjak angka tiga belas. Kecantikan semakin tergurat jelas di wajahnya.

Sang Ibu menghela napas. “Jika ujiannya susah, mengapa ada teman kamu yang mendapat empat bintang, sedangkan kamu tidak? Jika Ayahmu tahu nilaimu seperti ini, dia pasti akan marah, Latata. Ujian berikutnya, kamu harus lebih baik dari ini. Belajar yang sungguh-sungguh.” Latata menyanggupi.

Waktu terus bergulir, ujian kembali diselenggarakan. Latata pulang ke rumah dengan senyuman mengembang saat menunjukkan hasil belajar pada orangtuanya.

“Lima bintang itu skor penuh, bukan?” Ibunda Latata bertanya pada suaminya yang sedang mengamati hasil ujian Latata, lalu dibalas dengan anggukan. “Tapi mengapa Latata ada diurutan kedua?”

Mendengar itu, rasa senang di hati Latata meredup. “Itu karena temanku lebih dulu menyelesaikan ujiannya, jadi dia mendapat peringkat satu.”

Ayahanda dan Ibundanya mengangguk.

“Lain kali, kamu harus bisa mendapat peringkat satu juga,” ucap Ayahanda. Latata kembali menyanggupi.

Waktu bergulir kembali, ujian diselenggarakan lagi. Kali ini sedikit berbeda, dimana ujian dilakukan untuk semua ilmu yang diajarkan sebagai syarat untuk naik tingkatan yang lebih tinggi. Jadi, peringkat akan ditentukan dari total skor semua bidang ilmu.

“Ibunda... Ayahanda... Aku dapat peringkat satu!” teriak Latata sembari melambai-lambaikan hasil ujian naik tingkat. Dia yakin sekali jika kali ini orangtuanya akan memujinya, mengatakan jika dirinya pintar.

“Di sekolah lain, murid yang meraih peringkat satu, nilainya lebih tinggi darimu, Latata. Jika kamu menginginkan gelar sempurna, maka menjadi nomor satu tidaklah cukup. Kamu harus menjadi yang terbaik. Itu syarat untuk menjadi manusia yang berhasil, seperti saudara sepupumu.”

Latata menyimak petuah Ayahnya. Ada kekecewaan bersemayam di hati. Ia merasa segala yang dilakukan tidak pernuh cukup untuk membuat hati orangtuanya senang. Seakan ia telah gagal membuat mereka bangga memilikinya. Namun, di sisi lain, ucapan Sang Ayah sudah tentu benarnya. Anak dari adik Ibu dan Ayahnya adalah buktinya. Sebab itu, ia pun ingin mencapai hal yang sama.

Siang dan malam ia belajar hingga mengorbankan waktu tidur, mengabaikan waktu bermain. Namun karena raganya yang telah lelah, pikirannya sulit untuk memahami isi buku yang dibaca. Meski begitu, Latata tidak mengenal kata menyerah. Tekadnya telah bulat. Ia ingin membuat Ayah dan Ibunya bangga, lalu memujinya. Hingga ujian kenaikan tingkat kembali diselenggarakan, Latata harus rela menerima kenyataan jika usahanya tidak berbuah sesuai harapan. Ia meraih peringkat satu, tapi bukan yang terbaik. Membuatnya ragu untuk melangkahkan kaki ke rumah dan menjumpai orangtuanya.

Ia memilih merenung di tepi sungai, mengamati sungai yang mengalir tenang. Lalu, satu ide muncul di kepalanya. Latata berlari mencari toko peralatan tulis dan membeli sebuah kuas beserta tinta emas. Dengan hati-hati, ia menggoreskan satu bentuk bintang untuk menyempurnakan nilainya, menghitung ulang skor total dan memastikan bahwa hasil akhirnya telah menyaingi murid yang mendapat peringkat terbaik.

Tiba di rumah, Latata menunjukkan hasil ujian. Hatinya berdebar. Bukan karena menanti respon Ayah dan Ibundanya, tetapi karena takut jika kebohongannya terbongkar. Namun yang ditakutinya tidak terjadi. Tanpa diduga, orangtuanya bersorak gembira melihat keberhasilannya. Pujian tanpa akhir terlontar untuk Latata. Acara makan malam dipenuhi hidangan lezat diadakan, dihadiri para kerabat yang datang untuk mengucapkan selamat.

Semua bersuka-cita, tapi tidak dengan Latata. Hatinya dilingkupi kegelisahan karena merayakan suatu kebohongan. Membuatnya tidak ingin lagi bertindak curang. Dia akan belajar lebih keras lagi untuk mencapai yang terbaik, itu janjinya untuk diri sendiri.

Musim berlalu, tak terasa Latata telah berumur tujuh belas tahun. Usia dimana para remaja memutuskan karir yang diinginkan untuk ditekuni sepanjang masa. Mayoritas memilih untuk menjadi Tabib, namun Latata menginginkan karir yang lain. Dia ingin menjadi pelindung alam. Sebuah impian yang ditentang orangtuanya, sebab karir seperti itu dipandang sebelah mata. Sehingga, Latata patuh mengikuti keinginan Ayah dan Ibunya untuk menempuh ilmu Tabib.

Hari demi hari berlalu lagi. Latata berusaha keras untuk selalu menjadi yang terbaik di setiap kelas Tabib yang diikuti. Tapi semuanya berjalan dengan sangat tidak mudah, terlebih karena Latata sama sekali tidak meyukai bidang tersebut. Meskipun demikian, Latata tetap berhasil meraih nilai tertinggi dan gelar terbaik.

“Dulu, saat putraku masih menempuh ilmu Tabib, meskipun bukan yang terbaik, total nilainya tidak pernah kurang dari sembilan puluh bintang, Latata,” ucap Paman Latata saat datang berkunjung demi mendengar berita bahwa keponakannya mencapai gelar terbaik. Namun, ia segera menampilkan senyum remehnya usai melihat skor total Latata yang hanya memiliki delapan puluh bintang.

Mendengar itu, serangkaian kalimat ‘kamu harus belajar lebih tekun lagi’ segera terdengar di telinga Latata dari orangtuanya.

“Ibunda, aku lelah menggeluti ilmu Tabib. Bolehkan aku memilih jalan lain?” ucap Latata suatu malam. Kejenuhannya telah sampai ubun-ubun hingga ia memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati.

“Apa maksudmu, Latata? Kau pikir tiga tahun itu waktu yang singkat? Jika kamu memulai dari awal, kamu akan tertinggal dengan yang lainnya!” hardik Ayahnya.

“Tapi, Ayahanda, Latata tidak sanggup lagi. Rasanya lelah.”

“Hidup itu memang melelahkan, karena itu kamu harus kuat. Semua ini untuk masa depanmu. Kau harus tahu itu!” tambah Sang Ibu.

Maka, Latata kembali mematuhi perintah itu. Melalui hari demi hari yang melelahkan lagi. Menggeluti bidang Tabib yang sama sekali tidak menyentuh ujung hatinya. Memenuhi segala standar terbaik yang selalu didengarnya.

Mengapa untuk membahagiakan orangtuanya begitu sulit dicapai? Mengapa selalu saja ada kekurangan dalam hasil yang ia peroleh? Tidak dapatkah Ayah dan Ibunya hanya berfokus pada pencapaiannya, bukan keberhasilan orang lain? Mengapa ia tidak dapat melakukan keinginannya walau hanya satu kali?

Pikiran semacam itu akhirnya hadir di kepalanya. Terus berulang tanpa henti dari mentari terbit hingga terbit kembali di esok harinya. Mempengaruhi semangatnya dalam belajar, mempengaruhi prestasinya.

“Apa-apaan ini, Latata! Nilaimu jelek sekali! Kamu tidak belajar? Hah!” Ayahnya melempar hasil ujian ilmu Tabib Latata. Skornya hanya mencapai lima puluh bintang.

Latata terdiam. Merasa enggan menanggapi. Ia hanya mendengar rangkaian kalimat Ayah dan Ibunya yang dipenuhi tanda seru. Berita kegagalan Latata menyebar begitu cepat, menjadi buah bibir warga desa. Latata yang menawan tak lagi pandai. Latata bukan anak yang berbakti.

Rumor lain ikut tersebar, menyamarkan kebenaran berita mengenai Latata. Warga desa percaya, bahwa Latata kini lebih tertarik berkencan dengan seorang pria daripada belajar. Padahal selama hidupnya, Latata sedikit pun tidak bersinggungan dengan asmara. Tidak ada waktu untuk itu.

Kembang desa Aera yang selama ini dipuja-puji, tidak lagi berharga. Membuat orangtua Latata menahan rasa malu setiap kali putrinya kalah saing dengan anak tetangga. Namun, Latata tidak peduli lagi. Dia memilih untuk menyendiri di tepi sungai, menikmati kesendirian dengan pikirannya yang ramai.

Seandainya ia menghilang, pasti itu akan lebih baik. Sekali saja, ia ingin mewujudkan satu keinginannya. Mengekspresikan kekecewaannya pada siapapun yang membicarakannya, membuat mereka menyesal tiada akhir.

Ya, keputusan singkat itu memenuhi pikiran Latata, didukung oleh suara hatinya. Maka perlahan, langkah kaki Latata mendekat pada bibir sungai. Perlahan, ia menyatukan tubuhnya dengan air sungai, hingga tak nampak lagi di permukaan.

“Hai, Latata! Senang bertemu denganmu,” sapa seorang pria berambut perak kala Latata baru saja membuka mata.

Latata mengerlingkan mata berulang kali, mengamati lingkungan tempatnya berada yang serba putih. Tidak ada pohon, tidak ada rumput kering, apalagi sungai. Hanya putih. “Ini dimana?”

Pria bersurai perak mengernyitkan dahi, lalu tersenyum manis, “Kau tidak tahu?” Latata segera menggeleng. Pria itu berpura-pura seakan baru saja menghela napas.

“Kau ada di zona peralihan, Latata. Kamu mati tenggelam. Oh, tidak, tepatnya kau mengakhiri hidupmu dengan menenggelamkan diri ke sungai.” Pria bersurai perak melipat kedua tangan. “Pasti kehidupanmu sungguh berat, sehingga membuatmu memutuskan demikian. Aku turut bersedih.”

Latata tersenyum kecut.

“Nah, karena kau sudah ada di sini, mari kita lupakan kehidupanmu yang sebelumnya dan membahas kehidupan selanjutnya untukmu.” Pria itu mendudukkan diri di hadapan Latata.

“Maksudnya?”

Reinkarnasi. Karena selama kau hidup, kamu selalu berkelakuan baik, Dewa menganugerahkan padamu kehidupan baru.” Si pria mendekat pada Latata dan berbisik, “Kau bisa memilih kehidupanmu kali ini, menarik, bukan?”

“Bagaimana dengan orangtuaku? Apa mereka menyesal? Aku mengakhiri nyawaku karena ingin mereka menyesal telah mengekangku selama ini. Juga ingin membuat orang-orang yang berbicara buruk tentangku merasa bersalah.”

Mendengar itu, pria perak tertawa. “Kau mengakhiri hidupmu karena menginginkan hal remeh itu?”

Latata mengangguk mantap. “Mereka menyesal?”

Pria bersurai perak menggeleng. “Kematianmu menjadi buah bibir warga desa Aera. Sangat jauh dari ekspektasimu. Sekali lagi, Aku turut bersedih.” Latata memicingkan mata, merasa tidak percaya. Hingga detik berikutnya, satu sisi berwarna putih itu berubah seperti layar televisi yang menampilkan warga desa Aera tengah berkerumun membicarakan kematian Latata. Mereka menduga banyak hal.

Latata melebarkan kedua manik berliannya, merasa tidak percaya dengan isi percakapan itu. Semua yang mereka bicarakan terlalu jauh dari kata mengekang. Warga desa, kerabat bahkan orangtuanya menduga jika ia mengakhiri hidup karena terlampau malu dengan prestasinya. Ada yang berpendapat bahwa Latata tidak sengaja terpeleset dan jatuh ke sungai. Bahkan ada yang menduga ia telah dibunuh oleh pengagum rahasia. Sebab itu, mereka sepakat untuk mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang berhasil mengungkap kematian Latata, akan diberikan hadiah satu peti emas. Sungguh luarbiasa.

‘Klik’

Pria bersuai perak mematikan televisi raksasa, mengembalikan sisi ruangan berwarna putih seperti semula. “Jadi, reinkarnasi seperti apa yang kau inginkan untui kehidupan selanjutnya?”

Latata bersungut, kedua telapak tangannya mengepal keras, lalu menampilkan tatapan menusuk pada Si pria perak. “Aku tidak butuh reinkarnasi! Antarkan aku bertemu dengan Dewa sekarang juga! Aku ingin bertanya, mengapa Ia menciptakan begitu banyak makhluk bodoh di muka bumi ini!”

Si perak mengulum bibir, mengikuti kemauan Latata, mengantarkannya bertemu dengan Dewa. Itu artinya, Latata telah membuang kesempatan untuk bereinkarnasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun