Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fiksi "Self"

15 Maret 2021   15:00 Diperbarui: 15 Maret 2021   15:11 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah dusun kecil, hiduplah sepasang keluarga muda. Kedua suami-istri adalah lulusan terbaik di kampus ternama di negerinya. Sang suami lulusan master fisika kuantum, sedangkan sang istri adalah jebolan program psikologi terbaik. 

Usai setahun menikah, mereka mendapat seorang anak. Berbekal akumulasi pengalaman pengetahuan yang mumpuni, mereka sepakat untuk mendidik anak ini menjadi dirinya sendiri: bukan menurut versi ibu atau versi bapak. Lantas mereka membiarkan anak itu bertumbuh tiga tahun awal tanpa mendorong anak itu mempelajari psikologi atau fisika kuantum. 

Anak bertumbuh secara fisik dan mental tanpa hambatan. Menginjak usia 5 tahun, usia Taman Kanak-Kanak, anak ini didapati gurunya di sekolah suka Menyusun bagan dengan banyak hitungan. Guru yang baik tersebut lalu menyampaikan kepada orangtua anak dan mereka mendapati bahwa ternyata sang anak memiliki kemampuan kinestetik-motorik dan numberik, kemampuan awal untuk mempelajari fisika kuantum. 

Mengetahui hal tersebut, sang istri spontan naik pitam. Ia menuduh selama ini suaminya diam-diam mengajarkan sang anak untuk menjadi seorang fisikawan. Sang suami menangkis tuduhan tersebut. Ia bersumpah atas langit kalau tidak pernah mengatakan sekatapun kepada anak mereka untuk mengikuti jejak ayahnya.

Tak tahan dengan pertengkaran mulut kedua pasangan muda tersebut, guru TK yang baik hati lantas bertanya.

"Di rumah, bapak dan ibu biasanya melakukan kegiatan apa? Siapa yang paling sering menemani anak mereka?".

"Saya ibu", spontan sang suami menjawab, "istri saya guru sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Saya sendiri peneliti fisika kuantum dan sering menghabiskan waktu di laboratorium penelitian saya di rumah bersama anak kami".

"Keseringan sang anak bermain bersama bapaknya saat bapaknya bekerja di laboratorium di rumah itulah yang membentuk anak bapak-ibu saat ini", guru tersebut menyimpulkan tanpa menggurui pasangan muda tersebut.

Di dalam rangka perayaan 125 tahun, London School of Economics and Political Science (LSE) tahun 2020 mengadakan sebuah webinar yang menghadirkan 5 peneliti dari Eropa dan Amerika Serikat. Topik webinar ini ialah "Digital Technologies in the Lives of Children and Young People". Webinar ini mencari tahu jawaban atas satu pertanyaan pokok: bagaimana teknologi digital mempengaruhi anak-anak dan remaja jenjang usia 5-18 tahun di benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia, locus penelitian para peneliti yang menjadi pembicara di dalam webinar tersebut. 

Para pembicara memiliki pendekatan metodologis berbeda, tetapi semua memiliki kesimpulan serupa: anak-anak dan remaja di negara-negara yang memiliki ekosistem teknologi yang inklusif merata di seluruh sudutnya sangat intens dipengaruhi oleh teknologi digital. Sementara itu, anak-anak di negara-negara seperti Romania dan beberapa negara Eropa Timur tidak dipengaruhi teknologi digital karena tidak memiliki fasilitas internet di lingkungan rumah dan sekolahnya.

Penelitian di atas memiliki satu asumsi antropologis dasar: setiap individu dapat dipengerahui faktor-faktor eksternal. Tidak hanya perkembangan teknologi digital, sirkulasi apapun di sekitar individu secara sadar dan tidak sadar mempengaruhi dan membentuk individu. 

Maka, kita dapat bertanya: kalau apapun dapat mempengaruhi individu, apakah individu tidak lebih dari bentukan faktor eksternal? Atau sebaliknya, apakah ada "real-self" yang genetikal-biologis-mental, tetap murni, yang tetap berkanjang sejak seseorang dilahirkan hingga akhir hidupnya di tengah pusaran gelombang magnet eksternal?

Liberalisme: Self in itself

Pertengkaran intelektual atas soal di atas di dalam tradisi akademik diperankan oleh kelompok liberalisme (dan libertanisme, bentuk ekstrim dari liberalisme) dan komunitarianisme. Alasdayr MacIntyre menyebut saling siku keduanya sebagai "perang sipil yang menggunakan sarana lain" (After Virtue, a Study in Moral Theory, 1981). 

Kubu liberalisme diwakili oleh John Locke, Adam Smith, John Stuart Mill, Immanuel Kant, John Rawls, John Dewey, Ronald Dworkin, dan lain-lain. Liberalisme memiliki keyakinan mendasar, yang lalu menjadi prinsip paradigmatisnya, bahwa diri (self in itself, real self) itu ada. Kedirian setiap individu dikoding secara ketat di dalam hati nurani, kehendak bebas, dan akal budinya. 

Liberalisme yakin bahwa setiap orang berbeda, unik, bebas, dan memiliki kemampuan berbeda. Individu sejak lahir membawa blue print-nya sendiri yang berbeda dari genom kedua orangtuanya. Meskipun perbedaan genomnya hanya 0,001 sekian, setiap individu tidak pernah merupakan pahatan dari siapapun, entah orangtuanya entah saudara kembarnya. Di dalam tali-temali hidup harian kita sering menemui anak kembar yang secara fisik persis sama. Selera makan, preferensi warna, minat, bahkan sakitpun bersama, tetapi masih saja berbeda dalam hal tertentu.

Liberalisme paling sukses di dalam pertentangan akademik ini. Keberhasilan liberalisme termaktub di dalam konstitusi negara-negara demokrasi seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Indonesia. Puncak kemenangan liberalisme adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Negara-negara demokrasi menjamin hak-hak setiap negara: hak hidup, hak beragama, hak kesetaraan di hadapan hukum, dan rentetan hak lain. 

Hak-hak ini menurut liberalisme dibawa individu sejak lahir sebagai manusia, tidak diberikan oleh negara dan siapapun, termasuk orangtua. Karena itu, negara dan siapapun tidak boleh mencabut hak-hak asasi ini dari individu atas alasan apapun yang tidak menjadikan individu tuan dan tujuan atas dirinya. Namun, negara dituntut untuk bertanggung jawab menjamin dan melindungi hak-hak individu. Indonesia sendiri tidak steril dari pengaruh liberalisme. Secara konstitusional, Indonesia sudah meratifikasi deklarasi Universal HAM oleh United Nations di atas.

Turunan kemenangan liberalisme di atas merembes ke dalam domain pendidikan, yang menurut ahli pendidikan seperti Filsuf dan Sosiolog Edgar Morin seharusnya netral. Sejak awal, Ki Hadjar Dewantara, Menteri pendidikan pertama Indonesia, mencetuskan orientasi pendidikan dengan tiga tiang penopang: olah cipta, olah rasa, dan olah karsa. 

Di kemudian hari, Yudi Latif, pakar pendidikan kebangsaan, berdasarkan kajian panjang atas sejarah pendidikan sejak era Yunani klasik menambahkan olah raga (Pendidikan yang Berkebudayaan, 2020). 

Paradigma pendidikan seperti ini sebenarnya bertumpu pada asumsi antropologis bahwa setiap orang terkomposisi dari kompenen akal, emosi-mental, afeksi (passion), dan fisik. Maka, pola mendidik yang holistik harus menyasar semua aspek ini. Abad 21 bahkan para ahli menganjurkan pendekatan individual-centered class daripada class-centered school untuk membantu setiap peserta didik sesuai trajektori kodrati mereka. Komponen karsa di atas persis pasokan dari liberalisme. 

Pendidikan menurut karsa mengandaikan setiap peserta didik memiliki perbedaan dan keunikan kapabilitas: motorik-kenistetik, numerik, literasi naratif, dan lain-lain. Setiap individu berbeda, tidak terkontaminasi penyeragaman faktor eksternal. Dengan kata lain, paradigma pendidikan Indonesia juga menganut paham liberalisme meskipun dikelola secara sintetis-kreatif untuk dipadukan dengan nilai-nilai kolektif masyarakat Indonesia.


Komunitarianisme: tidak ada self in itself

Meskipun liberalisme sudah berposta pora merayakan kemenangan historiknya, komunitarisanisme hingga hari ini tidak sedikitpun mengakui dan menutup mulut. Mereka terus melantunkan madah protes atas kesesatan berpikir liberalisme. Kaum liberal seperti Michael Walzer, Michael Sandel, Alasdayr MacIntyre, dan Charles Taylor mengatakan argumentasi dasar liberalisme yang benih awalnya berasal dari postulat-postulat Rene Descartes (individu sejak lahir membawa ide-ide bawaan tertentu) adalah klaim agresif yang ahistoris dan pseudo-saintis. 

Menurut liberalisme, secara biologis individu lahir secara fisik sudah membawa blue print yang merupakan turunan kreatif dari orangtuanya. Setelah lahir, individu tidak pernah dapat bertumbuh sendiri. Anak-anak berkembangan secara kogntif, mental, dan fisik berdasarkan sosialisasi: mulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Callahan menulis, "manusia adalah mahkluk sosial, tidak dalam kondisi individu-individu terpisah, dan kehidupannya berpenetrasi mendalam dengan institusi dan praktek-praktek sosial, politik, dan budaya" (Principilism and Communitarianism, 2003),

Bahasa, nilai-nilai hidup, cara berpikir, dan berperilaku adalah instalasi sosial terhadap individu. Para sosiolog menyebutnya sosialisasi (dari agen-agen sosial) dan internalisasi (peresapan dari individu). Seorang anak yang lahir di lingkungan masyarakat berbahasa Jawa akan berbahasa Jawa, kecuali orangtuanya melarang dan mengekslusifkan pergaulan dari anak-anak sekitar yang berbahasa Jawa. Seorang anak yang lahir dari orangtua berpendidikan dan memiliki kebiasaan membaca akan gemar membaca. 

Seorang anak yang lahir di lingkungan pencuri, seperti salah satu kampung di pulau Timor yang mensyaratkan keterampilan mencuri dalam ritual kawin-mawin hingga awal abad 21, akan meyakini mencuri sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Tanpa kontak dengan warga luar, dia tidak akan pernah menyadari bahwa mencuri adalah pelanggaran moral atau dosa. Dengan demikian kelihatan bahwa hati nurani atau kehendak bebas tidak lebih dari bentuk eksternal lingkungan operasional individu.

Maka, para komunitarian yang kebanyakan adalah sosiolog sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada diri dalam dirinya sendiri (self in itself). Pribadi atau subjek tidak lebih dari investasi sosial. Individu dikonstruksi secara sosial. Individu hanya lahir dengan membawa kerangka potensialitas tertentu yang masih kosong, tetapi siap untuk diisi. Individu dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Passion, gagasan, impian, dan imajinasi individu adalah titipan masyarakat, entah disadari entah tidak. Tidak ada entitas individu, selain entitas sosial. Self tidak lebih dari fiksi.

Fiksi self juga ditunjukkan oleh Yuval Noah Harari di dalam buku kedua dari Triloginya, Homo Deus (2017). Jika hati nurani, kehendak bebas, atau otonomi adalah fondasi filosofis liberalisme untuk melegitimasi entitas 'self', para saintis sudah sedang membongkar kebohongan sejarah ini. 

Para saintis membuktikan bahwa orang menghendaki sesuatu, jatuh cinta, nafsu, marah, dan semua ekspresi mental yang lain tidak lebih dari reaksi atas gelombang elektromagnetik yang dilepaskan otak manusia. Jadi, secara biologis konsep otonomi manusia adalah tipuan homo sapiens melalui rekayasa imajinasi dan narasinya. Kekristenan justru menyambung narasi fiksional homo sapiens berjuta tahun ini dengan menambah argumentasi baru, yakni mereferensi ke Tuhan sebagai asal-muasal manusia dan segala sesuatu. Kekristenan dengan demikian, hanya menumpuk alasan fiktif di atas fiksi lama.

Komunitarianisme: pilihan sudut pandang

"The way to see is also a way not to see", demikian kata Profesor Leslie Willcocks dalam salah satu dari serial seminar festival LSE 1-6 Maret 2021. Komposisi kalimat sederhana Leslie di atas sangat dalam. 

Bila diparafrasekan secara bebas, formulasinya demikian: ketika seseorang, terutama peneliti, memilih metode tertentu sebagai perangkat kerja akademik, pada saat yang sama ia sudah menyingkirkan metode yang lain. Objek kajian pun sudah dipatok dan dipetak sedemikian. Kenyataan tidak dibiarkan telanjang, tetapi sudah diamputasi. Karena itu, yang tampak hanyalah sisa kenyataan hasil potongan tersebut. Hal lain sudah dieliminasi dari peneropongan. 

Tulisan sederhana ini memiliki disposisi yang sama: memilih satu sudut pandang sebagai prioritas. Ketika Anda telah memilih komunitarianisme sebagai sudut pandang, keelokan liberalisme akan luput dari lirikanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun