Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fiksi "Self"

15 Maret 2021   15:00 Diperbarui: 15 Maret 2021   15:11 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Komunitarianisme: tidak ada self in itself

Meskipun liberalisme sudah berposta pora merayakan kemenangan historiknya, komunitarisanisme hingga hari ini tidak sedikitpun mengakui dan menutup mulut. Mereka terus melantunkan madah protes atas kesesatan berpikir liberalisme. Kaum liberal seperti Michael Walzer, Michael Sandel, Alasdayr MacIntyre, dan Charles Taylor mengatakan argumentasi dasar liberalisme yang benih awalnya berasal dari postulat-postulat Rene Descartes (individu sejak lahir membawa ide-ide bawaan tertentu) adalah klaim agresif yang ahistoris dan pseudo-saintis. 

Menurut liberalisme, secara biologis individu lahir secara fisik sudah membawa blue print yang merupakan turunan kreatif dari orangtuanya. Setelah lahir, individu tidak pernah dapat bertumbuh sendiri. Anak-anak berkembangan secara kogntif, mental, dan fisik berdasarkan sosialisasi: mulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Callahan menulis, "manusia adalah mahkluk sosial, tidak dalam kondisi individu-individu terpisah, dan kehidupannya berpenetrasi mendalam dengan institusi dan praktek-praktek sosial, politik, dan budaya" (Principilism and Communitarianism, 2003),

Bahasa, nilai-nilai hidup, cara berpikir, dan berperilaku adalah instalasi sosial terhadap individu. Para sosiolog menyebutnya sosialisasi (dari agen-agen sosial) dan internalisasi (peresapan dari individu). Seorang anak yang lahir di lingkungan masyarakat berbahasa Jawa akan berbahasa Jawa, kecuali orangtuanya melarang dan mengekslusifkan pergaulan dari anak-anak sekitar yang berbahasa Jawa. Seorang anak yang lahir dari orangtua berpendidikan dan memiliki kebiasaan membaca akan gemar membaca. 

Seorang anak yang lahir di lingkungan pencuri, seperti salah satu kampung di pulau Timor yang mensyaratkan keterampilan mencuri dalam ritual kawin-mawin hingga awal abad 21, akan meyakini mencuri sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Tanpa kontak dengan warga luar, dia tidak akan pernah menyadari bahwa mencuri adalah pelanggaran moral atau dosa. Dengan demikian kelihatan bahwa hati nurani atau kehendak bebas tidak lebih dari bentuk eksternal lingkungan operasional individu.

Maka, para komunitarian yang kebanyakan adalah sosiolog sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada diri dalam dirinya sendiri (self in itself). Pribadi atau subjek tidak lebih dari investasi sosial. Individu dikonstruksi secara sosial. Individu hanya lahir dengan membawa kerangka potensialitas tertentu yang masih kosong, tetapi siap untuk diisi. Individu dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Passion, gagasan, impian, dan imajinasi individu adalah titipan masyarakat, entah disadari entah tidak. Tidak ada entitas individu, selain entitas sosial. Self tidak lebih dari fiksi.

Fiksi self juga ditunjukkan oleh Yuval Noah Harari di dalam buku kedua dari Triloginya, Homo Deus (2017). Jika hati nurani, kehendak bebas, atau otonomi adalah fondasi filosofis liberalisme untuk melegitimasi entitas 'self', para saintis sudah sedang membongkar kebohongan sejarah ini. 

Para saintis membuktikan bahwa orang menghendaki sesuatu, jatuh cinta, nafsu, marah, dan semua ekspresi mental yang lain tidak lebih dari reaksi atas gelombang elektromagnetik yang dilepaskan otak manusia. Jadi, secara biologis konsep otonomi manusia adalah tipuan homo sapiens melalui rekayasa imajinasi dan narasinya. Kekristenan justru menyambung narasi fiksional homo sapiens berjuta tahun ini dengan menambah argumentasi baru, yakni mereferensi ke Tuhan sebagai asal-muasal manusia dan segala sesuatu. Kekristenan dengan demikian, hanya menumpuk alasan fiktif di atas fiksi lama.

Komunitarianisme: pilihan sudut pandang

"The way to see is also a way not to see", demikian kata Profesor Leslie Willcocks dalam salah satu dari serial seminar festival LSE 1-6 Maret 2021. Komposisi kalimat sederhana Leslie di atas sangat dalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun