Maka, kita dapat bertanya: kalau apapun dapat mempengaruhi individu, apakah individu tidak lebih dari bentukan faktor eksternal? Atau sebaliknya, apakah ada "real-self" yang genetikal-biologis-mental, tetap murni, yang tetap berkanjang sejak seseorang dilahirkan hingga akhir hidupnya di tengah pusaran gelombang magnet eksternal?
Liberalisme: Self in itself
Pertengkaran intelektual atas soal di atas di dalam tradisi akademik diperankan oleh kelompok liberalisme (dan libertanisme, bentuk ekstrim dari liberalisme) dan komunitarianisme. Alasdayr MacIntyre menyebut saling siku keduanya sebagai "perang sipil yang menggunakan sarana lain" (After Virtue, a Study in Moral Theory, 1981).Â
Kubu liberalisme diwakili oleh John Locke, Adam Smith, John Stuart Mill, Immanuel Kant, John Rawls, John Dewey, Ronald Dworkin, dan lain-lain. Liberalisme memiliki keyakinan mendasar, yang lalu menjadi prinsip paradigmatisnya, bahwa diri (self in itself, real self) itu ada. Kedirian setiap individu dikoding secara ketat di dalam hati nurani, kehendak bebas, dan akal budinya.Â
Liberalisme yakin bahwa setiap orang berbeda, unik, bebas, dan memiliki kemampuan berbeda. Individu sejak lahir membawa blue print-nya sendiri yang berbeda dari genom kedua orangtuanya. Meskipun perbedaan genomnya hanya 0,001 sekian, setiap individu tidak pernah merupakan pahatan dari siapapun, entah orangtuanya entah saudara kembarnya. Di dalam tali-temali hidup harian kita sering menemui anak kembar yang secara fisik persis sama. Selera makan, preferensi warna, minat, bahkan sakitpun bersama, tetapi masih saja berbeda dalam hal tertentu.
Liberalisme paling sukses di dalam pertentangan akademik ini. Keberhasilan liberalisme termaktub di dalam konstitusi negara-negara demokrasi seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Indonesia. Puncak kemenangan liberalisme adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Negara-negara demokrasi menjamin hak-hak setiap negara: hak hidup, hak beragama, hak kesetaraan di hadapan hukum, dan rentetan hak lain.Â
Hak-hak ini menurut liberalisme dibawa individu sejak lahir sebagai manusia, tidak diberikan oleh negara dan siapapun, termasuk orangtua. Karena itu, negara dan siapapun tidak boleh mencabut hak-hak asasi ini dari individu atas alasan apapun yang tidak menjadikan individu tuan dan tujuan atas dirinya. Namun, negara dituntut untuk bertanggung jawab menjamin dan melindungi hak-hak individu. Indonesia sendiri tidak steril dari pengaruh liberalisme. Secara konstitusional, Indonesia sudah meratifikasi deklarasi Universal HAM oleh United Nations di atas.
Turunan kemenangan liberalisme di atas merembes ke dalam domain pendidikan, yang menurut ahli pendidikan seperti Filsuf dan Sosiolog Edgar Morin seharusnya netral. Sejak awal, Ki Hadjar Dewantara, Menteri pendidikan pertama Indonesia, mencetuskan orientasi pendidikan dengan tiga tiang penopang: olah cipta, olah rasa, dan olah karsa.Â
Di kemudian hari, Yudi Latif, pakar pendidikan kebangsaan, berdasarkan kajian panjang atas sejarah pendidikan sejak era Yunani klasik menambahkan olah raga (Pendidikan yang Berkebudayaan, 2020).Â
Paradigma pendidikan seperti ini sebenarnya bertumpu pada asumsi antropologis bahwa setiap orang terkomposisi dari kompenen akal, emosi-mental, afeksi (passion), dan fisik. Maka, pola mendidik yang holistik harus menyasar semua aspek ini. Abad 21 bahkan para ahli menganjurkan pendekatan individual-centered class daripada class-centered school untuk membantu setiap peserta didik sesuai trajektori kodrati mereka. Komponen karsa di atas persis pasokan dari liberalisme.Â
Pendidikan menurut karsa mengandaikan setiap peserta didik memiliki perbedaan dan keunikan kapabilitas: motorik-kenistetik, numerik, literasi naratif, dan lain-lain. Setiap individu berbeda, tidak terkontaminasi penyeragaman faktor eksternal. Dengan kata lain, paradigma pendidikan Indonesia juga menganut paham liberalisme meskipun dikelola secara sintetis-kreatif untuk dipadukan dengan nilai-nilai kolektif masyarakat Indonesia.