Tradisi hukum Indonesia berakar pada tata hukum Belanda, yang sebenarnya dipengaruhi kuat oleh gerbong hukum Jerman. Tradisi hukum Jerman dipengaruhi kuat oleh etika deontologi Immanuel Kant. Etika Kant selalu menjadikan setiap orang sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Siapapun tidak boleh dijadikan sebagai sarana oleh siapapun, sekalipun oleh Tuhan, karena kemanusiaan setiap orang adalah suci (The Critique of Practical Reason, 1788).
Gagasan Kant di atas jelas menaruh hormat kepada semua dan setiap orang sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sarana untuk memuaskan kepentingan pihak tertentu. Bahkan kehidupan satu orang tidak dapat dikorbankan untuk kebahagiaan paling banyak orang sebagaimana dimarwahi kebijakan-kebijakan utilataris. Di kemudian hari, etika Kant ini dikembangkan oleh John Rawls.
Rawls merumuskan prinsip keadilan di dalam bukunya "A Theory of Justice" (1971) yang kemudian ia revisi di dalam "Justice as Fairness" (2001) setelah mendapat kritik dari beberapa filsuf. Menurut Rawls, keadilan pertama-tama membuka akses yang setara kepada semua orang (kesetaraan kesempatan). Namun, di dalam konteks tertentu, keadilan justru dimungkinkan oleh ketidaksetaraan.
Di dalam situasi terdapat pihak tertentu yang tidak diuntungkan (the least advange) oleh keputusan tertentu, keadilan justru lahir ketika memihak yang dirugikan. Rawls menyebutnya prinsip pembedaan. Prinsip ini menghindarkan pihak yang rugi menjadi korban atau tumbal untuk kemaslahatan banyak orang karena setiap orang adalah tujuan di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana dengan banyak orang? Bukankah memihak kelompok kecil yang lemah akan merugikan kelompok yang banyak? Argumentasi ini kelihatan bernas, tetapi sekadar memprovokasi. Kelompok yang banyak tidak dirugikan karena pada posisi awal sudah dibuka akses yang setara untuk semua orang. Ketika memihak orang banyak, individu atau kelompok kecil tertentu dirugikan, pihak yang dirugikan ini harus dibela supaya tidak ada yang dirugikan.
Kepalsuan Meritokrasi
Menuntut kesetaraan kesempatan adalah prinsip meritokrasi. Argumentasi dasar meritokrasi adalah semua orang mendapat kesempatan yang sama sehingga siapa yang menang ditentukan oleh kerja keras atau talentanya. Yang tidak bekerja keras dan tidak bertalenta pantas kalah.
Argumentasi ini menurut Michal Sandel (The Tyranny of Merit, 2020), bernas karena dua hal: efektif dan fair. Namun kesalahan meritokrasi adalah membuta terhadap kenyataan bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama sejak awal. Warga miskin NTT yang tinggal di pedalaman dan mata pencahariannya hanya menyuling 'sopi' tentu berbeda kesempatan dengan warga Jawa yang memiliki banyak peluang pekerjaan.
Maka alih-alih menyuburkan, meritokrasi malah mengkaratkan demokrasi dengan mengikis keadilan hidup berbangsa. Menghadapi meritokrasi, kita seharusnya mengakui bahwa tidak semua orang mendapat peluang hidup yang sama. Sehingga kesuksesan sebenarnya bukan kerja keras, melainkan faktor keberuntungan. Bila kita menyadari ketidaksetaraan dan faktor keberuntungan ini, kelompok sukses seharusnya bertanggung jawab untuk membantu kelompok miskin. Orang miskin gagal bukan karena tidak bekerja keras, melainkan bernasib malang dan korban ketidakadilan struktural. Produk hukum yang tidak memihak orang kecil adalah moncong ketidakadilan struktural.
Akhirnya, sebagai warga yang beragam, tidak setara dalam segala aspek, bangsa Indonesia membutuhkan satu kebajikan sipil: kerendahan hati. Kelompok mayoritas seharusnya rendah hati membantu kelompok minoritas. Kalau rendah hati saja kita tidak mampu, jangankan menjadi orang ber-Tuhan, menjadi manusia biasapun kita tidak sanggup dan tidak pantas.
Perpres Nomor 10 Tahun 2021 bukan sekadar soal penambahan kas negara melalui keluasan investasi, melainkan sumber warga kecil (NTT, Sulawesi, Papua, Kalimantan, Bali) bertahan hidup. Di fase pandemi, orang sulit menyambung hidup. Tidak bermoral bila kita menutup lagi keran kehidupan yang masih bertahan dengan sedikit tetes. Bangsa yang besar tidak bertumbuh dengan pendekatan 'melarang', tetapi mengarahkan ke ruang perbuatan positif.