Keputusan Presiden Jokowi untuk mencabut Lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, terutama terkait pembukaan investasi baru industri minuman keras beralkohol di beberapa provinsi seperti Bali, NTT, Papua, dan Sulawesi Utara, yang merupakan salah satu peraturan pelaksana UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah catat berlapis-lapis.
Secara hukum, bila konsisten Pemerintah seharusnya mencabut lebih dulu Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang masih berlaku hingga ini. Masih terdapat beberapa cacat hukum lagi yang bisa dipaparkan para ahli hukum (m.hukumonline.com).
Konon pencabutan ini dilandasi seruan protes dari beberapa ormas Islam besar dan diskusi tatap muka Presiden dan Wakil Presiden. Reaksi gesit-positif Presiden terhadap 'usulan' para ormas ini tanpa mendengarkan suara pihak lain, khususnya yang dirugikan, adalah sebentuk ketundukan terhadap kekuasaan politik daripada primasi hukum. Etika adalah mahkota kekuasaan hukum. Apalah artinya hukum bila kehilangan mahkotanya.
Hukum harus etis
Menkopolhukam Moh. Mahfud MD di dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (2014) menuliskan tiga syarat pertimbangan di dalam memformulasikan produk hukum: filosofis, politik, dan hukum. Mahfud menganalogikan ide ini sebagai pohon: etika adalah akar, politik adalah batang, dan hukum adalah buah.
Struktur ini penting. Filsafat memang harus berada pada posisi pertama karena akar dari semua kajian yang menyentuh sisi esensial kemanusiaan. Sebuah pohon tanpa akar, darimana batangnya mulai bertunas? Tanpa akar filsafat, politik sebagai pohon, apalagi hukum sebagai buah tidak pernah mencapai aktualitas potensinya. Akar menentukan trajektori dan laju hidup batang dan kemungkinan buah. Tidak mungkin akar semangka secara alami menghasilkan batang mangga dan buah kelapa.
Maka, mengevaluasi sebuah produk hukum, entah Undang-Undang, entah Perpres, lirikan pertama harus tertuju kepada landasan filosofis. Selama akar sehat, batang dan buah akan menyusul meskipun faktor udara, cahaya, dan pengairan juga mempengaruhi pertumbuhan sebuah tanaman. Memutuskan mencabut sebuah perpres hanya karena tekanan politik kelompok tertentu adalah perendahan atas martabat hukum di republik ini.
Indonesia adalah negara hukum. Hukum berkuasa meskipun produk hukum kita lebih banyak jahitan politik kepentingan parsial jangka pendek. Menyerah terhadap tekanan politik, takut kehilangan dukungan dari kelompok terbanyak, adalah kekerdilan subordinasi hukum atas tahta politik. Sayang sekali, Presiden sendiri sedang menahbiskan kepentingan politik sebagai penguasa baru.
Lantas, bagaimana bila Presiden mencabut Perpres tersebut bukan karena tekanan politik, melainkan pertimbangan moral: Presiden tidak ingin melukai cita rasa keadilan kelompok tertentu yang bahkan jumlahnya paling besar untuk bangsa ini?
Filsafat Hukum: Keadilan
Kajian filsafat yang dimaksud Mahfud MD di atas adalah filsafat hukum dan atau etika. Esensi filsafat hukum dan atau ketika adalah keadilan. Jadi, hukum benar, baik, dan bermanfaat secara filosofis bila adil. Bahkan di dalam tradisi filsafat hukum, hukum dan keadilan dapat ditransposisi. Esensi hukum adalah adil. Prinsip keadilan macam apakah yang dimaksud?
Tradisi hukum Indonesia berakar pada tata hukum Belanda, yang sebenarnya dipengaruhi kuat oleh gerbong hukum Jerman. Tradisi hukum Jerman dipengaruhi kuat oleh etika deontologi Immanuel Kant. Etika Kant selalu menjadikan setiap orang sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Siapapun tidak boleh dijadikan sebagai sarana oleh siapapun, sekalipun oleh Tuhan, karena kemanusiaan setiap orang adalah suci (The Critique of Practical Reason, 1788).
Gagasan Kant di atas jelas menaruh hormat kepada semua dan setiap orang sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sarana untuk memuaskan kepentingan pihak tertentu. Bahkan kehidupan satu orang tidak dapat dikorbankan untuk kebahagiaan paling banyak orang sebagaimana dimarwahi kebijakan-kebijakan utilataris. Di kemudian hari, etika Kant ini dikembangkan oleh John Rawls.
Rawls merumuskan prinsip keadilan di dalam bukunya "A Theory of Justice" (1971) yang kemudian ia revisi di dalam "Justice as Fairness" (2001) setelah mendapat kritik dari beberapa filsuf. Menurut Rawls, keadilan pertama-tama membuka akses yang setara kepada semua orang (kesetaraan kesempatan). Namun, di dalam konteks tertentu, keadilan justru dimungkinkan oleh ketidaksetaraan.
Di dalam situasi terdapat pihak tertentu yang tidak diuntungkan (the least advange) oleh keputusan tertentu, keadilan justru lahir ketika memihak yang dirugikan. Rawls menyebutnya prinsip pembedaan. Prinsip ini menghindarkan pihak yang rugi menjadi korban atau tumbal untuk kemaslahatan banyak orang karena setiap orang adalah tujuan di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana dengan banyak orang? Bukankah memihak kelompok kecil yang lemah akan merugikan kelompok yang banyak? Argumentasi ini kelihatan bernas, tetapi sekadar memprovokasi. Kelompok yang banyak tidak dirugikan karena pada posisi awal sudah dibuka akses yang setara untuk semua orang. Ketika memihak orang banyak, individu atau kelompok kecil tertentu dirugikan, pihak yang dirugikan ini harus dibela supaya tidak ada yang dirugikan.
Kepalsuan Meritokrasi
Menuntut kesetaraan kesempatan adalah prinsip meritokrasi. Argumentasi dasar meritokrasi adalah semua orang mendapat kesempatan yang sama sehingga siapa yang menang ditentukan oleh kerja keras atau talentanya. Yang tidak bekerja keras dan tidak bertalenta pantas kalah.
Argumentasi ini menurut Michal Sandel (The Tyranny of Merit, 2020), bernas karena dua hal: efektif dan fair. Namun kesalahan meritokrasi adalah membuta terhadap kenyataan bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama sejak awal. Warga miskin NTT yang tinggal di pedalaman dan mata pencahariannya hanya menyuling 'sopi' tentu berbeda kesempatan dengan warga Jawa yang memiliki banyak peluang pekerjaan.
Maka alih-alih menyuburkan, meritokrasi malah mengkaratkan demokrasi dengan mengikis keadilan hidup berbangsa. Menghadapi meritokrasi, kita seharusnya mengakui bahwa tidak semua orang mendapat peluang hidup yang sama. Sehingga kesuksesan sebenarnya bukan kerja keras, melainkan faktor keberuntungan. Bila kita menyadari ketidaksetaraan dan faktor keberuntungan ini, kelompok sukses seharusnya bertanggung jawab untuk membantu kelompok miskin. Orang miskin gagal bukan karena tidak bekerja keras, melainkan bernasib malang dan korban ketidakadilan struktural. Produk hukum yang tidak memihak orang kecil adalah moncong ketidakadilan struktural.
Akhirnya, sebagai warga yang beragam, tidak setara dalam segala aspek, bangsa Indonesia membutuhkan satu kebajikan sipil: kerendahan hati. Kelompok mayoritas seharusnya rendah hati membantu kelompok minoritas. Kalau rendah hati saja kita tidak mampu, jangankan menjadi orang ber-Tuhan, menjadi manusia biasapun kita tidak sanggup dan tidak pantas.
Perpres Nomor 10 Tahun 2021 bukan sekadar soal penambahan kas negara melalui keluasan investasi, melainkan sumber warga kecil (NTT, Sulawesi, Papua, Kalimantan, Bali) bertahan hidup. Di fase pandemi, orang sulit menyambung hidup. Tidak bermoral bila kita menutup lagi keran kehidupan yang masih bertahan dengan sedikit tetes. Bangsa yang besar tidak bertumbuh dengan pendekatan 'melarang', tetapi mengarahkan ke ruang perbuatan positif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI