"Ade, tolong lepas dulu maskernya baru bicara. Tidak sopan bicara sambil pakai masker".
 Wajah saya sontak memerah drastis. Bukan karena marah. Saya malu, salah satu kelemahan saya.
"Maaf om, maaf... ", ujar saya merendah dan mengakui kesalahan. Saya kemudian melepaskan maskernya dengan kecepatan yang tidak kalah dari roket darat Formula One. Percakapan saya bersama beberapa pria itu lalu berjalan lancar. Tidak hanya menjawab tanya dengan singkat padat. Mereka bahkan menunjukkan detailnya seperti "acting" para "tour guide". Memang begitu orang Kupang. Meskipun garang perawakannya, mungkin karena kebanyakan makan garam dan sambal, hati mereka tulus membantu.
Pengalaman di atas menginsafkan saya bahwa bermasker pra-pandemi Covid-19 sebagai protokol kesehatan tidak begitu kuat makna konotatifnya. Dahulu kala, awalan basa-basi pencerita tak berbabasis data, orang yang memakai masker identik dengan beberapa predikit negatif.Â
Pencuri biasanya memakai masker untuk menghindarkan wajahnya tertangkap camera atau penglihatan warga. Para teroris dengan senjata laras panjang pun tak berani tak memakai masker.
Karena begitu lengketnya simbol masker dengan para pelaku kriminal, bermasker dan bertopeng meronda hanya di sekitar lorong-lorong kejahatan. Yang bisa bermasker tidak hanya ibu-ibu yang berusaha keras menjaga keawetan wajahnya untuk mencegah suami melirik rumput tetangga yang lebih hijau. Gadis belia yang baru menginjak usia pubertas sudah mencoba maskeran. Bukan untuk mempertahankan siapa-siapa, karena memang belum ada yang memotret parasnya, tetapi untuk menghipnotis pria-pria seusianya yang sedang puber juga.
Orang bermasker atau bertopeng juga sebagai modus untuk mematok hati kejaran khayalannya. Untuk nyaman berselingkuh, bermasker adalah resep ampuh. Maka, bermasker memanen tempelan atribut lain seperti sombong, tidak sopan, munafik, palsu, suka bermain belakang, pembohong.Â
Memakai masker era pra-pandemi memang lebih terasa nuansa jahatnya daripada intensi baiknya. Para dokter dan perawat bahkan sering tidak memakai masker agar pasien tidak merasa minder, tidak pantas. Pengidap TBC dikata lebih sopan tidak bermasker bila bertukar kata dengan orang.
Revolusi Bermasker
Sekelumit tempelan konotasi negatif di atas luntur seketika tergusur Covid-19. Virus Corona tidak hanya membunuh nyawa manusia, tetapi juga membom pemaknaan negatif terhadap masker. Pandemi yang bermula tahun ini di Kota Wuhan, Cina, di satu sisi menghancurkan banyak segmen hidup, tetapi di sisi lain menghidupkan kembali vitalitas masker yang lama terkubur paksa labeling bias moralisme. Bom Covid-19 menumbuhkan revolusi masker.Â
Ribuan orang memakai masker. Tak terhitung berapa ribu masker yang diproduksi industri-industri farmasi. Industri tak berlapel pun berjamur di berbagai tempat untuk menyediakan stok masker. Aneka jenis bentuk dan warna masker berhasil terjual.Â