Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Natal di Pandemi Covid-19: Bayi Yesus Bermasker

25 Desember 2020   10:51 Diperbarui: 25 Desember 2020   10:55 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kandang Natal bermasker di Pra-Novisiat Claret Kupang/dokpri

Beberapa fenomena menarik terjadi selama persiapan hingga perayaan Natal tahun ini. Keseruannya bukan hanya difibrasi orang Kristiani. Teman-teman beragama lain semakin membuah seru Natal tahun ini. Di gereja Katolik Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya, saudara-saudara Muslim turut mendekor pohon Natal.

Begitupun di beberapa situs gereja Reformasi dan Katolik, kandang Natal didekorasi indah oleh sesama anak bangsa yang beragama lain. Sentuhan banyak tangan yang berbeda memoles perayaan Natal ini menjadi sangat molek. Keelokannya serupa keindahan keberagaman Indonesia. Perayaan Natal indah justru karena dirayakan semua warga Indonesia yang heterogen. Peristiwa berahmat ini tentu saja memelekkan mata kita bahwa hidup terasa berwarni, harmonis, indah menawan justru karena dihias perbebedaan.

Gotong royong silahturahmi di atas mungkin terjadi rutin bertahun-tahun. Namun, keelokan perayaan Natal tahun ini menunjukkan panorama yang unik dan menarik. Pohon Natal dihiasi dengan aneka bentuk dan warna MASKER. 

Di tengah pandemi, getaran hati sesama insan beriman yang tahu bahwa meskipun kita beragam, Allah kita satu, berbondong-bondong memenuhi halaman dan lorong-lorong gereja untuk berbagi sukacita, iman, dan harapan. Pandemi tidak sedikit pun menyurutkan gelora mereka selama masker melingkar rapi di sekitar mulut dan hidung. Tuhan Yesus yang lahir di kandang Natal pun dipakaikan masker untuk mencegah bayi Yesus tertular Covid-19.

Pemandangan di atas menarik untuk dikecap rasa dan nalar. Ada apa dengan masker? Bukankah bayi Yesus adalah Putra Allah yang tidak mungkin terjangkit virus Corona? Memaskerkan bayi Yesus tentu saja tidak dipahami secara literaris, tetapi simbolik. Makna simbolik seperti apa sih di balik hiasan ganjil yang memikat mata di atas?

Masker Pra-Pandemi Covid-19

Sekitar November 2019, saya mengendarai motor berkeliling Kota Kupang. Tidak hanya mencuci mata di sekitar kota tempat para 'harim' (gadis elok) berkulit bening Belanda bercampur rambut hitam lurus Jepang berjemur di bibir sepanjang pantai. Saya bermaksud mencari toko yang menjual pernak-pernik Natal. Sekali mendayung, dua pulau terlawati.

Setelah dua jam berkeliling dari Ramayana Mall, Lotemart, barisan toko di Oebofu, Kampung Solor, Oesapa,  dan beberapa tempat lain, saya keletihan. Karena banyaknya toko dan luasnya Kota Kupang, saya menjadi patah arang. Seperti biasa, dalam kondisi berada di ambang batas, insting "survive" menguak. 

Tinggal sedikit asa, saya meluncur di jalan Timor Raya Lasiana. Melihat beberapa pria berusia paruh baya tengah nongkrong di pinggir jalan sambil menyeruput kopi di Lesehan, saya memutuskan memarkir motor di depan mereka. Hanya sekitar 1 meter jarak kami. Masker masih terpampang rapih di mulut dan hidung saya. Seperti biasa, saya memiliki habitus untuk bermasker tatkala bepergian dengan kendaraan apapun. Kondisi imun tubuh saya yang sensitif dengan debu dan mudah terserang flu memaksa saya memanfaatkan masker sudah sejak 6 tahun lalu.

Tanpa melepaskan masker, saya langsung memulai mementaskan ritual tata krama di tanah Timor. Memberi selamat dan memohon izin untuk bertanya. Sebelum pertanyaan terlontar dari mulut saya, teguran langsung berterbangan melebihi kecepatan angin dari seorang bapak yang kala itu bagian dari kelompok tersebut menuju telinga saya.

 "Ade, tolong lepas dulu maskernya baru bicara. Tidak sopan bicara sambil pakai masker".

  Wajah saya sontak memerah drastis. Bukan karena marah. Saya malu, salah satu kelemahan saya.

"Maaf om, maaf... ", ujar saya merendah dan mengakui kesalahan. Saya kemudian melepaskan maskernya dengan kecepatan yang tidak kalah dari roket darat Formula One. Percakapan saya bersama beberapa pria itu lalu berjalan lancar. Tidak hanya menjawab tanya dengan singkat padat. Mereka bahkan menunjukkan detailnya seperti "acting" para "tour guide". Memang begitu orang Kupang. Meskipun garang perawakannya, mungkin karena kebanyakan makan garam dan sambal, hati mereka tulus membantu.

Pengalaman di atas menginsafkan saya bahwa bermasker pra-pandemi Covid-19 sebagai protokol kesehatan tidak begitu kuat makna konotatifnya. Dahulu kala, awalan basa-basi pencerita tak berbabasis data, orang yang memakai masker identik dengan beberapa predikit negatif. 

Pencuri biasanya memakai masker untuk menghindarkan wajahnya tertangkap camera atau penglihatan warga. Para teroris dengan senjata laras panjang pun tak berani tak memakai masker.

Karena begitu lengketnya simbol masker dengan para pelaku kriminal, bermasker dan bertopeng meronda hanya di sekitar lorong-lorong kejahatan. Yang bisa bermasker tidak hanya ibu-ibu yang berusaha keras menjaga keawetan wajahnya untuk mencegah suami melirik rumput tetangga yang lebih hijau. Gadis belia yang baru menginjak usia pubertas sudah mencoba maskeran. Bukan untuk mempertahankan siapa-siapa, karena memang belum ada yang memotret parasnya, tetapi untuk menghipnotis pria-pria seusianya yang sedang puber juga.

Orang bermasker atau bertopeng juga sebagai modus untuk mematok hati kejaran khayalannya. Untuk nyaman berselingkuh, bermasker adalah resep ampuh. Maka, bermasker memanen tempelan atribut lain seperti sombong, tidak sopan, munafik, palsu, suka bermain belakang, pembohong. 

Memakai masker era pra-pandemi memang lebih terasa nuansa jahatnya daripada intensi baiknya. Para dokter dan perawat bahkan sering tidak memakai masker agar pasien tidak merasa minder, tidak pantas. Pengidap TBC dikata lebih sopan tidak bermasker bila bertukar kata dengan orang.

Revolusi Bermasker

Sekelumit tempelan konotasi negatif di atas luntur seketika tergusur Covid-19. Virus Corona tidak hanya membunuh nyawa manusia, tetapi juga membom pemaknaan negatif terhadap masker. Pandemi yang bermula tahun ini di Kota Wuhan, Cina, di satu sisi menghancurkan banyak segmen hidup, tetapi di sisi lain menghidupkan kembali vitalitas masker yang lama terkubur paksa labeling bias moralisme. Bom Covid-19 menumbuhkan revolusi masker. 

Ribuan orang memakai masker. Tak terhitung berapa ribu masker yang diproduksi industri-industri farmasi. Industri tak berlapel pun berjamur di berbagai tempat untuk menyediakan stok masker. Aneka jenis bentuk dan warna masker berhasil terjual. 

Namun, stok masker tetap berkurang lantaran tidak mampu memenuhi kebutuhan jutaan orang yang berkejaran memborong masker. apotik-apotik bahkan mengeluarkan aturan mendesak untuk membatasi penjualan masker. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah, sebuah produk dibatasi pasaran atas nama prinsip kesetaraan: supaya semua orang kebagian. Orientasi untung pasar ditundukkan pada asas kemanusiaan.

Kalau dahulu bermasker itu tidak sopan, hipokrit, sekarang bermasker itu tanda cinta. Bukan egoisme, melainkan atruisme. Kalau kamu memakai masker, bukan hanya kamu mencintai dan melindungi dirimu dari bahaya serangan buta Covid-19, melainkan juga orang lain. Bahkan orang yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya di hadapanmu, kamu lindungi dengan bermasker. 

Kamu boleh memintai dia untuk memakai masker. Kalau dia tidak punya, kamu bahkan bersedia untuk berbagi masker dengan dirinya. Pandemi dengan demikian membawa revolusi masker. Masker laris dipakai di mana saja dan kapan saja. Tidak ada pagar tabu di hadapan masker. Lebih penting sehat dan selamat, daripada sopan, tapi mati.

Virus Corona tidak hanya merevolusi fungsi masker, tetapi juga revolusi cinta. Semua orang tahu, cinta sejati itu bukan cinta diri. Cinta secara mendasar selalu "other-oriented", mengarah kepada orang lain. Diri sendiri adalah hasil rembesan tidak langsung dari mencintai orang lain. 

Mencintai orang lain, siapapun dia, entah musuh, entah apapun curriculum vitaenya, adalah hal yang sulit pra-pandemi meskipun imperatif moral ini dititahkan oleh semua budaya, semua agama sejak manusia mulai menyadari peran akalnya. Ante-pandemi, diperkirakan post-pandemi Covid-19, mencintai sesama melalui bermasker tidak perlu digaungkan Pemerintah atau agama manapun. Covid-19 dengan "invisible hand"-nya akan menggoda semua orang untuk bermasker. Semua orang luluh.

Dengan demikian, tangan Tuhan Covid-19 ini pun merealisasikan nasehat untuk saling mencintai, bahkan mencintai musuh yang diperintahkan Yesus kepada murid-muridnya di dalam kitab suci. Ini sebenarnya makna sejati perayaan anamnesis Natal. Kelahiran Yesus bertujuan mendorong semua orang untuk saling mencintai, bahkan mencintai musuh. 

Yesus ingin menihilkan permusuhan di atas bumi. Yesus sudah memulai proyek besar ini 2000 tahun silam, sekitar tahun 30 M di Palestina. Meskipun Yesus adalah Tuhan atas semesta, kata-kata Yesus tidak serta-merta didengarkan dan dijalankan. Hanya Corona yang tanpa kata-kata, tanpa perintah jelas, tanpa kitab sucinya, tanpa nabi-nabi sebagai corongnya, mampu merevolusi akhlak pembangkang ras manusia. Hanya dalam kurung waktu kurang lebih sebulan, seluruh dunia berlomba saling mencintai dengan berebutan bermasker.

Ada apa dengan gerangan ini? Apakah corona adalah Tuhan? Kok dia bisa membunuh siapapun tanpa memandang iman dan embel-embel agamanya? Kalau membunuh bukan tindakan Allah, corona tidak pantas menjadi Tuhan. Membunuh memang tidak etis, tetapi kadang mujarab untuk menegakkan prinsip-prinsip moral. 

Hanya dengan Corona menyerang manusia, semua orang ramai-ramai bermasker, menjaga kesehatan diri dan orang lain, tanda cinta kasih yang nyata. Corona menghadirkan cinta kasih. Corona kalau bukan 'ilahi', ia mungkin saja layak menyabet gelar tangan tak terlihat Tuhan.       

Akhirnya, terima kasih Covid-19, sudah membuat kami sungguh saling mencintai hari ini. Tidak ada lagi musuh. Tidak perlu para ulama berteriak-teriak lagi soal saling mencintai untuk kami. Covid-19 dalam kebisuannya efektif membuat kami saling mencintai. 

Corona mewujudkan misi Yesus 2000 tahun silam. Kelahiran bayi Yesus tahun ini dipersiapkan Corona dengan rapih. Misi Yesus tahun ini terpenuhi. Corona melahirkan Yesus dengan sukses dalam menunaikan misinya: mengasihi siapapun tanpa mengecek curriculum vitaenya.

Karena itu, bayi Yesus bermasker. Tidak hanya bersolider dengan umat manusia, tidak hanya taat protokol kesehatan sebagai teladan atau mendukung program pemerintah. Yesus bermasker karena Corona telah menobatkan dan menggiring banyak orang ke jalan kebenaran: saling mengasihi.

Selamat Merayakan Natal 2020

Kupang, 25 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun