Namun, stok masker tetap berkurang lantaran tidak mampu memenuhi kebutuhan jutaan orang yang berkejaran memborong masker. apotik-apotik bahkan mengeluarkan aturan mendesak untuk membatasi penjualan masker. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah, sebuah produk dibatasi pasaran atas nama prinsip kesetaraan: supaya semua orang kebagian. Orientasi untung pasar ditundukkan pada asas kemanusiaan.
Kalau dahulu bermasker itu tidak sopan, hipokrit, sekarang bermasker itu tanda cinta. Bukan egoisme, melainkan atruisme. Kalau kamu memakai masker, bukan hanya kamu mencintai dan melindungi dirimu dari bahaya serangan buta Covid-19, melainkan juga orang lain. Bahkan orang yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya di hadapanmu, kamu lindungi dengan bermasker.Â
Kamu boleh memintai dia untuk memakai masker. Kalau dia tidak punya, kamu bahkan bersedia untuk berbagi masker dengan dirinya. Pandemi dengan demikian membawa revolusi masker. Masker laris dipakai di mana saja dan kapan saja. Tidak ada pagar tabu di hadapan masker. Lebih penting sehat dan selamat, daripada sopan, tapi mati.
Virus Corona tidak hanya merevolusi fungsi masker, tetapi juga revolusi cinta. Semua orang tahu, cinta sejati itu bukan cinta diri. Cinta secara mendasar selalu "other-oriented", mengarah kepada orang lain. Diri sendiri adalah hasil rembesan tidak langsung dari mencintai orang lain.Â
Mencintai orang lain, siapapun dia, entah musuh, entah apapun curriculum vitaenya, adalah hal yang sulit pra-pandemi meskipun imperatif moral ini dititahkan oleh semua budaya, semua agama sejak manusia mulai menyadari peran akalnya. Ante-pandemi, diperkirakan post-pandemi Covid-19, mencintai sesama melalui bermasker tidak perlu digaungkan Pemerintah atau agama manapun. Covid-19 dengan "invisible hand"-nya akan menggoda semua orang untuk bermasker. Semua orang luluh.
Dengan demikian, tangan Tuhan Covid-19 ini pun merealisasikan nasehat untuk saling mencintai, bahkan mencintai musuh yang diperintahkan Yesus kepada murid-muridnya di dalam kitab suci. Ini sebenarnya makna sejati perayaan anamnesis Natal. Kelahiran Yesus bertujuan mendorong semua orang untuk saling mencintai, bahkan mencintai musuh.Â
Yesus ingin menihilkan permusuhan di atas bumi. Yesus sudah memulai proyek besar ini 2000 tahun silam, sekitar tahun 30 M di Palestina. Meskipun Yesus adalah Tuhan atas semesta, kata-kata Yesus tidak serta-merta didengarkan dan dijalankan. Hanya Corona yang tanpa kata-kata, tanpa perintah jelas, tanpa kitab sucinya, tanpa nabi-nabi sebagai corongnya, mampu merevolusi akhlak pembangkang ras manusia. Hanya dalam kurung waktu kurang lebih sebulan, seluruh dunia berlomba saling mencintai dengan berebutan bermasker.
Ada apa dengan gerangan ini? Apakah corona adalah Tuhan? Kok dia bisa membunuh siapapun tanpa memandang iman dan embel-embel agamanya? Kalau membunuh bukan tindakan Allah, corona tidak pantas menjadi Tuhan. Membunuh memang tidak etis, tetapi kadang mujarab untuk menegakkan prinsip-prinsip moral.Â
Hanya dengan Corona menyerang manusia, semua orang ramai-ramai bermasker, menjaga kesehatan diri dan orang lain, tanda cinta kasih yang nyata. Corona menghadirkan cinta kasih. Corona kalau bukan 'ilahi', ia mungkin saja layak menyabet gelar tangan tak terlihat Tuhan. Â Â Â Â
Akhirnya, terima kasih Covid-19, sudah membuat kami sungguh saling mencintai hari ini. Tidak ada lagi musuh. Tidak perlu para ulama berteriak-teriak lagi soal saling mencintai untuk kami. Covid-19 dalam kebisuannya efektif membuat kami saling mencintai.Â
Corona mewujudkan misi Yesus 2000 tahun silam. Kelahiran bayi Yesus tahun ini dipersiapkan Corona dengan rapih. Misi Yesus tahun ini terpenuhi. Corona melahirkan Yesus dengan sukses dalam menunaikan misinya: mengasihi siapapun tanpa mengecek curriculum vitaenya.