PILKADA serentak 9 Desember 2020 telah berlalu. Kecemasan banyak pihak bahwa pesta demokrasi akbar tahun ini akan berubah menjadi perayaan perkabungan nasional tinggal sebagai fobia masal tak berdasar. Yang menakutkan bukan serangan buta virus corona yang berujung pada klaster baru di NTT, melainkan siapa yang kalah. Pesta demokrasi memang selalu menghadirkan ketegangan di antara batas kemenangan dan kekalahan.
Potret fenomena sosio-politik dalam konteks NTT pasca Pilkada Serentak 9 Desember meninggalkan jejak yang menarik untuk ditelisik. Tidak ada satupun petahana yang luput dari kekalahan. Kekalahan para petahana ini ganjil di dalam peratarungan politik di Indonesia, apalagi di NTT. Bukankah pemain lama lebih tahu taktik bermain daripada pemain baru? Ada apa di balik anomali ini?
Anomali kekalahan petahana
Kekalahan petahana adalah sebuah anomali, kalau bukan aib dalam kelaziman percaturan politik. Petahana seharusnya sulit dikalahkan karena dua alasan mendasar. Pertama, petahana memiliki kapital finansial. Sudah menjadi konsumsi publik bila praktek demokrasi di Indonesia selalu memakan banyak biaya. Di antara aneka ongkos politik, kekuatan finansial merupakan determinan krusial.
Kadang benar adagium klasik kaum materialis: uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang segalanya bukan apa-apa. Uang berfungsi di dalam semua aspek kehidupan karena dapat dikonversi menjadi apa saja. Terbuka kemungkinan pendatang baru memiliki modal banyak, tetapi petahana lebih memiliki akses ke banyak sumber dana.
Kedua, selain memiliki kapital finansial, petahana tentu saja memiliki kapital kekuasaan lebih besar dari pemain baru. Pengaruh kekuasaan politik biasanya besar karena memiliki koneksi dengan kaum oligarki, kaum elit entah di dalam roda birokrasi, entah partai politik. Pemain lama lebih menguasai arena pertarungan. Di dalam sosiologi politik, lebih banyak teori seperti "elite/managerial view, class view, institutionalist view, class view", bahkan "rational view" lebih mendukung kontestan dengan kekuasaan politik memenangkan kompetisi (Bdk. Dobratz, Waldner, Buzzell, 2016).
Lantas, mengapa petahana tergusur? Menurut saya, ada tiga kemungkinan cara untuk menalar anomali politik ini.
Menalar anomali politik
Pertama, para teoritisi politik postsrukturalis memahami praksis politik sebagai "the art of possible". Gagasan ini dipengaruhi kuat oleh pembedaan Martin Heidegger atas "Machenschaf't" dan "Gestell" dari neologi enigmatik, "Geviert". Bila "Machenschaf't" dan "Gestell" memakai paradigma "enfraiming" yang mengamputasi realitas heterogen berdasarkan trajektori tertentu seperti kalkulabilitas, kecepatan, reproduksi, "Geviert" bermain dengan pola seni, yakni membiarkan segala sesuatu "coming into presence", "bringing into appearance", "let things be" (Bdk. Later Heidegger dalam Origin of the Work of Art, 1935).
Kategorisasi di atas berimbas pada dua gagasan dasar politik: "The political" mengindikasikan dimensi ontologis masyarakat, sedangkan "the politics" mengacu pada dimensi ontis masyarakat seperti praktek-praktek konvensional politik (Oliver Marchart, 2007). Sebagai "the political", politik tidak pernah memiliki fondasi atau substansi untuk direpresentasi. Jangan mencari moralisme di arena politik. Anda salah alamat. Sebagai "the politics", praksis politik tidak pernah memakai satu pola yang universal. Realisme politik selalu kontingen.
Gagasan semacam ini mengekor pandangan Niccolo Machiavelli yang disebut para teoritisi politik "the moment of machiavelism". Machiavelli dikenal dengan adagium klasiknya "the end excuses the means", tujuan membolehkan cara apapun (Bdk. E. A. Rees 2004). Ide Machiavelli sebenarnya sudah didahului Cardinal Richelieu (Henry Kissinger, 1997).
Seni tidak kaku normatif, konvensional-konservatif, ritualis, dan moralis. Seni selalu berdaya kreatif, anti-fondasionalisme dan representasionalisme, partikular, arbitrer, dan imajinatif. Politik sebagai seni adalah paradigma baru iklim berpikir postmodern. Jean Francois Lyotard meringkaskan iklim postmodern sebagai "anything goes" (Simon Malpas, 2003). Apapun boleh di dalam dunia politik.
Sebagai seni, praksis politik tidak mematok doktrin apapun untuk menakar dan menentukan strategi tertentu sebagai baik, benar, dan menang dalam sayembara politik. Setiap politisi bisa memakai cara apapun. Yang penting bukan esensi dan substansi, melainkan taktik untuk memenangkan pertarungan. Etika tidak dipakai. Orientasi utama pada kekuasaan, "tools"nya boleh apa saja.
Dari perspektif ini calon baru menang bisa dipahami sebagai kemunculan racikan pendekatan-pendekatan baru yang tidak konvensional yang selama ini raib dari mata petahana, oligarki, dan partai politik penguasa. Cara-cara seperti apa? Berikut kemungkinannya.
Kedua, Michel Foucault memandang relasi kekuasaan itu tidak terlembaga. Jadi bukan monopoli kaum elit yang biasa menguasai relasi makro-politik. Kekuasaan justru beroperasi efektif di dalam relasi mikro-politik seperti relasi keluarga antara suami-istri, orangtua-anak, kakak-adik, dan tetangga (Bdk. Haryatmoko, 2016).
Dari sudut ini, petahana kalah karena mengandalkan taktik lama yang konvensional seperti kekuatan uang dan kekuasaan partai politik, birokrasi, dan jaringan oligarki yang sarat KKN. Paslon baru tahu kalau masyarakat sudah melek terhadap perilaku koruptif yang 'indebted' di dalam pola konvensional di atas. Bila Anda berpretensi membeli suara warga dengan uang, mereka menerima uangnya di depan Anda. Namun di bilik rahasia TPS, pemilih adalah penguasa atas suaranya.
Konstituen lebih mudah dipengaruhi orang dekatnya daripada orang jauh, apalagi yang memakai uang dan koersi kekuasan dengan transparan. Kekuasaan di dalam relasi mikro politik berkarakter simbolik, implisit, tidak kelihatan, tetapi justru itu efektif. Seorang istri mengikuti pilihan suaminya karena yakin pilihan suami yang terbaik, padahal ia tidak sadar kalau sedang dikuasi preferensi suami.Â
Seorang anak mencoblos paslon idola orangtuanya karena percaya orangtuanya lebih benar, apalagi bila orangtuanya berpendidikan tinggi. Seorang adik mendukung pilihan kakaknya karena yakin kakak lebih tahu. Keluarga lebih mudah digiring tetangganya yang selama ini berbagi garam dan minyak goreng dengan mereka daripada politisi yang datang dengan banyak uang di musim Pilkada.
Karena itu, calon baru menang karena mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kosong yang tidak dijamah petahana ini. Calon baru datang layaknya keluarga konstituen, dengan perawakan miskin, tidak memiliki uang. Justru tidak memakai uang di hadapan warga, lebih dipercaya warga, mengambil hati warga. Bahkan di daerah tertentu, paslon baru diberi sapi oleh warga sebagai dukungan.
Kemungkinan ketiga, kemenangan paslon baru merupakan efek jauh dari fenomena Jokowi-Ahok. Banyak orang NTT menjadi melek politik karena fibrasi jejak politik kolaborasi persahabatan politik Jokowi-Ahok hingga saat ini. Â Jowoki-Ahok dikultuskan. Idealisme politik dan karakter kedua sosok ini didewakan. Karena itu, orang NTT pasti membenci paslon yang berbau KKN dan atau berasal dari kalangan kaya.
Maka, bila paslon mengandalkan kekuatan finansial dan kekuasaan jaringan oligarki, Anda salah alamat. NTT bukan tempatnya untuk bertransaksi politik dan memburu rente. Pilkada NTT kali ini menunjukkan potret demokrasi yang sebenarnya: mengembalikan kekuasaan ke tangan masyarakat sipil. Kekuatan politik di NTT ada pada relasi keluargaan, "class-action" dan aliansi-aliansi masyarakat sipil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI