Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menalar Anomali Pilkada Serentak

22 Desember 2020   07:34 Diperbarui: 22 Desember 2020   07:36 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seni tidak kaku normatif, konvensional-konservatif, ritualis, dan moralis. Seni selalu berdaya kreatif, anti-fondasionalisme dan representasionalisme, partikular, arbitrer, dan imajinatif. Politik sebagai seni adalah paradigma baru iklim berpikir postmodern. Jean Francois Lyotard meringkaskan iklim postmodern sebagai "anything goes" (Simon Malpas, 2003). Apapun boleh di dalam dunia politik.

Sebagai seni, praksis politik tidak mematok doktrin apapun untuk menakar dan menentukan strategi tertentu sebagai baik, benar, dan menang dalam sayembara politik. Setiap politisi bisa memakai cara apapun. Yang penting bukan esensi dan substansi, melainkan taktik untuk memenangkan pertarungan. Etika tidak dipakai. Orientasi utama pada kekuasaan, "tools"nya boleh apa saja.

Dari perspektif ini calon baru menang bisa dipahami sebagai kemunculan racikan pendekatan-pendekatan baru yang tidak konvensional yang selama ini raib dari mata petahana, oligarki, dan partai politik penguasa. Cara-cara seperti apa? Berikut kemungkinannya.

Kedua, Michel Foucault memandang relasi kekuasaan itu tidak terlembaga. Jadi bukan monopoli kaum elit yang biasa menguasai relasi makro-politik. Kekuasaan justru beroperasi efektif di dalam relasi mikro-politik seperti relasi keluarga antara suami-istri, orangtua-anak, kakak-adik, dan tetangga (Bdk. Haryatmoko, 2016).

Dari sudut ini, petahana kalah karena mengandalkan taktik lama yang konvensional seperti kekuatan uang dan kekuasaan partai politik, birokrasi, dan jaringan oligarki yang sarat KKN. Paslon baru tahu kalau masyarakat sudah melek terhadap perilaku koruptif yang 'indebted' di dalam pola konvensional di atas. Bila Anda berpretensi membeli suara warga dengan uang, mereka menerima uangnya di depan Anda. Namun di bilik rahasia TPS, pemilih adalah penguasa atas suaranya.

Konstituen lebih mudah dipengaruhi orang dekatnya daripada orang jauh, apalagi yang memakai uang dan koersi kekuasan dengan transparan. Kekuasaan di dalam relasi mikro politik berkarakter simbolik, implisit, tidak kelihatan, tetapi justru itu efektif. Seorang istri mengikuti pilihan suaminya karena yakin pilihan suami yang terbaik, padahal ia tidak sadar kalau sedang dikuasi preferensi suami. 

Seorang anak mencoblos paslon idola orangtuanya karena percaya orangtuanya lebih benar, apalagi bila orangtuanya berpendidikan tinggi. Seorang adik mendukung pilihan kakaknya karena yakin kakak lebih tahu. Keluarga lebih mudah digiring tetangganya yang selama ini berbagi garam dan minyak goreng dengan mereka daripada politisi yang datang dengan banyak uang di musim Pilkada.

Karena itu, calon baru menang karena mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kosong yang tidak dijamah petahana ini. Calon baru datang layaknya keluarga konstituen, dengan perawakan miskin, tidak memiliki uang. Justru tidak memakai uang di hadapan warga, lebih dipercaya warga, mengambil hati warga. Bahkan di daerah tertentu, paslon baru diberi sapi oleh warga sebagai dukungan.

Kemungkinan ketiga, kemenangan paslon baru merupakan efek jauh dari fenomena Jokowi-Ahok. Banyak orang NTT menjadi melek politik karena fibrasi jejak politik kolaborasi persahabatan politik Jokowi-Ahok hingga saat ini.  Jowoki-Ahok dikultuskan. Idealisme politik dan karakter kedua sosok ini didewakan. Karena itu, orang NTT pasti membenci paslon yang berbau KKN dan atau berasal dari kalangan kaya.

Maka, bila paslon mengandalkan kekuatan finansial dan kekuasaan jaringan oligarki, Anda salah alamat. NTT bukan tempatnya untuk bertransaksi politik dan memburu rente. Pilkada NTT kali ini menunjukkan potret demokrasi yang sebenarnya: mengembalikan kekuasaan ke tangan masyarakat sipil. Kekuatan politik di NTT ada pada relasi keluargaan, "class-action" dan aliansi-aliansi masyarakat sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun