Bercerita tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah pekerjaan, kewajiban, dan atau hobi yang tak pernah berkesudahan, tetapi juga selalu menarik. Memukaunya tidak hanya karena potensi NTT memikat lirikan mata nasional dan internasional, tetapi juga cibiran merendahkan turut melantun di balik syair pujian.
Pesona NTT justru berkutub paradoks, hibrid, dan berkelas ekstrim, berada di ujung positif sekaligus negatif. Mulai dari lebih banyak batu daripada tanah dan air, lumbung kemiskinan, provinsi tertinggal, kontributor 'kebodohan' berskala nasional, kantong pemalas, penipu, masa bodoh, tidak tertib, gemar berkelahi massal, cermin kesetiaan, hitam manis, cantik alami, gudang penyanyi berbakat, kaya budaya, paling toleran, jujur, hingga surga yang lama menghilang. Masih terdapat banyak predikat yang bisa disematkan. Pendek kata NTT itu aduh 'pukul testa', juga aduh 'terperangah'. Kita memiliki 'wow-wow' histeris.
Hampir 6 tahun berkelana di tanah Jawa, bertemu sapa dengan teman-teman Jawa dan luar Jawa non-NTT, kesan dominan dan seolah 'khas' untuk kita NTT yang terlontar dari tutur kata dan laku mereka adalah kasar-keras kepala (kepala batu), tetapi jujur-transparan. Pelabelan ini bisa saja salah, tetapi bukan di sini letak pentingnya. Ketidakjelasan etiologi produksi predikat ini menihilkan diskursus mengenai kebenaran genealogis makna. Penelusuran genealogis pada akhrinya hanya menuai fiksi.
Yang menarik adalah cap tak bertuan di atas beresonansi di dalam ruang relasi makro dan mikro kita tanpa disensor. Bahkan tampan berkelas mahasiswa dan birokrat mengamini dan menelan label 'kasar-kepala batu dan jujur-transparan' dengan bangga.Â
Ikut tawuran, berkelahi dengan keterampilan mengeroyok, berkendaraan tanpa mematuhi protokol lalu lintas apalagi protokol kesehatan, berkemah di balik jerusi besi Lapas, dan pembangkangan akrobatik lain, kita anggap adalah NTT. Maka tidak bermasalah dalam segala aspek bagi kita. Fondasi identitas kita malah semakin kokoh dibangun dengan anarkisme kecil-kecilan.
Sebaliknya kita juga mengiyakan sanjungan orang NTT itu jujur-transparan. Orang muda biasanya doyan dengan kualitas tempelan ini. Tidak lupa dan bahkan menjadi lirik andalan untuk memahat cinta di hati gadis dan pria non-NTT.Â
Senyuman seram kita pun menyejukan hati orang luar karena diyakini isinya adalah hati yang tidak mendua, mentiga, dan silahkan menambahkan sendiri. Suara bernada tinggi dipandang nyanyian kebahagiaan. Wajah karang kita adalah cermin lelaki pekerja keras yang sepikir, sehati, seucap, dan setindak. Maka, aksi sengkarut apapun permisif saja.
Intrik beresiko
Sanjungan dan hujatan di atas tidak "totally" benar, tetapi bisa perlahan berevolusi menjadi "ideal types" amatiran yang menakar kiblat kita di dalam domain pendidikan, ekonomi, budaya, birokrasi, apalagi politik. Sosiolog Max Weber mengonsepsikan 'ideal types' sebagai konstruksi teoritis yang diabstraksikan dan dirangkum dari gema fenomena sosial tertentu yang berpretensi sebagai realitas sosial, tetapi bukan kebenaran korespondensi (1978).
Bahaya 'ideal types' adalah terlanjur diaminkan tanpa penelitian rigid berbasis konteks zaman yang selalu dinamis. Siapa yang bisa membuktikan salah karakter 'kasar-kepala batu dan jujur-transparan' orang NTT? Siapa juga yang mampu membuktikan benar atribut 'kasar-kepala batu dan jujur-transparan' orang NTT?
'Ideal types' adalah instrik beresiko. Seolah ia menguntungkan kita karena menyokong psikologi kita degan vitamin "self-esteem", melegitimasi gelagat kita entah khaos entah ordik, padahal skenario taktisnya menggiring kita ke jurang tragedi.Â
Menerima julukan sosial tanpa filterasi ketat berarti membiarkan intrik beresiko ini menggagalkan dan mengasingkan kita dari siapa keakuan dan kekitaan NTT. Tidak hanya kita mengkonsepsi diri demikian, warga non-NTT pun akan 'taken for granted'. Kalau pemiliknya sendiri mengafirmasi, bagaimana mungkin orang luar menegasi.
Intrik beresiko lain dapat bermain secara implisit-efektif di dalam evolusi makna denotasi menjadi ideologi. Bahasa adalah tanda. Roland Barthes, hermeneutikus Perancis, menjelaskan bahwa pemaknaan suatu tanda dapat berevolusi dari denotasi ke konotasi, mitos, dan membeku sebagai ideologi (Benny H. Hoed, 2011). Membiarkan "labeling" kasar-kepala batu dan jujur-transparan berkeliaran bebas tanpa penyengsoran kritis perlahan menjadi 'ideologi'.
Ideologi berfungsi menumbuhkan dan merekatkan kohesi sosial, kerangka penafsiran diri, dan legitimasi hubungan sosial (Haryatmoko, 2010). Takkala makna secuil label merengkuh posisi ideologi, memakan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan makna denotasinya atau bahkan melanggeng tanpa batasan waktu. Padahal ideologi adalah selubung kesadaran palsu ahistoris karena menolak ditelanjangi gagasan-gagasan kritis. Ideologi berdaya memecah secara eksplosif karena menciptakan eksklusi di antara "in group" dan "out group".
Imbas buruk "Labeling theory"
Penyematan karakter kasar-kepala batu dan jujur-transparan bisa saja merupakan 'labeling'. Teori 'labeling' menegaskan bahwa perilaku individu atau sekelompok orang adalah devian hanya ketika masyarakat melabel mereka demikian (George Zgourides and Christie Zgourides, 2000).Â
Sebagaimana dibuktikan oleh sosiolog William Chambliss dalam kajiannya terhadap dua kelompok pelajar yang disebut "Saints" (berlatar keluarga kaya dan pandai) dan "Roughnecks" (berasal dari keluarga ekonomi lemah dan tidak pandai), orang menjadi devian bukan karena pertama-tama tingkah lakunya merepresentasi distorsi, melainkan label sosial.Â
Label sosial membuat individu mendapat 'lower self-image', menolak diri sendiri, dan bahkan semakin condong berlaku melawan arus normal. Jadi orang menjadi menyimpang bukan karena tindakannya 'per se' demikian, tetapi karena konstruksi sosial melalui 'labeling'.
Imbas buruk teori 'Labeling' orang NTT kasar-keras kepala dan jujur-transparan sangat potensial dimainkan di dalam pementasan PILKADA 2020 di NTT. Paslon dan para buruhnya akan dengan mudah menjustifikasi skenario busuk pemenangan pihaknya dengan segala bentuk tindakan massal berpiranti 'labeling' di atas. Mudah saja untuk mengoposisi-binerkan dua atribut hibrid ini.
'Labeling' dapat dipakai sebagai instrumen untuk melegitimasi aksi brutal kolektif sebagai pengejawantahan patriotisme. Bentrokan horizontal antar pendukung Paslon dapat dipermisifkan dengan praanggapan bahwa orang kita memiliki karakter demikian dan tidak dapat dikoridori dalam hal ini. Paslon dapat mengambil hati konstituen, semakin memperkuat kohesi afeksional pendukung lewat ujuran-ujuran 'labeling'.
Paslon juga mampu membela diri dengan 'labeling' yang positif sambil mengkambinghitamkan lawan. Politisi terampil dalam memalaikatkan diri dan mensetankan lawan.Â
Kadang kala fiksi setan harus diciptakan supaya kehadiran malaikat masuk akal. Narasi kisah kompetisi baru menarik bila lawan dicitrakan sebagai personifikasi kejahatan meskipun cara itu tidak humanis. Memang lawan selalu bernuansa negatif, jahat, identik dengan musuh. Padahal sayembara politik meniscayakan lawan, bukan musuh.
Semakin jargon 'labeling' ini digembor-gemborkan, konstituen semakin membludak di ruang publik. Protokol kesehatan tidak lebih dari hoaks. Kalaupun dilanggar, siapa yang bisa disalahkan dan ditangkap aparat keamanan. Bukankah semakin banyak yang bertindak, semakin mudah untuk menghapuskan jejak? Memang benar, di mana semua orang mengerjakan sesuatu, tidak ada satu pun yang menjinjing akibatnya. Toh Lapas tidak berkapasitas untuk menampung. Taring kajian ilmiah tumpul. Kinerja nalar adalah urusan kemudian setelah PILKADA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H