Menerima julukan sosial tanpa filterasi ketat berarti membiarkan intrik beresiko ini menggagalkan dan mengasingkan kita dari siapa keakuan dan kekitaan NTT. Tidak hanya kita mengkonsepsi diri demikian, warga non-NTT pun akan 'taken for granted'. Kalau pemiliknya sendiri mengafirmasi, bagaimana mungkin orang luar menegasi.
Intrik beresiko lain dapat bermain secara implisit-efektif di dalam evolusi makna denotasi menjadi ideologi. Bahasa adalah tanda. Roland Barthes, hermeneutikus Perancis, menjelaskan bahwa pemaknaan suatu tanda dapat berevolusi dari denotasi ke konotasi, mitos, dan membeku sebagai ideologi (Benny H. Hoed, 2011). Membiarkan "labeling" kasar-kepala batu dan jujur-transparan berkeliaran bebas tanpa penyengsoran kritis perlahan menjadi 'ideologi'.
Ideologi berfungsi menumbuhkan dan merekatkan kohesi sosial, kerangka penafsiran diri, dan legitimasi hubungan sosial (Haryatmoko, 2010). Takkala makna secuil label merengkuh posisi ideologi, memakan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan makna denotasinya atau bahkan melanggeng tanpa batasan waktu. Padahal ideologi adalah selubung kesadaran palsu ahistoris karena menolak ditelanjangi gagasan-gagasan kritis. Ideologi berdaya memecah secara eksplosif karena menciptakan eksklusi di antara "in group" dan "out group".
Imbas buruk "Labeling theory"
Penyematan karakter kasar-kepala batu dan jujur-transparan bisa saja merupakan 'labeling'. Teori 'labeling' menegaskan bahwa perilaku individu atau sekelompok orang adalah devian hanya ketika masyarakat melabel mereka demikian (George Zgourides and Christie Zgourides, 2000).Â
Sebagaimana dibuktikan oleh sosiolog William Chambliss dalam kajiannya terhadap dua kelompok pelajar yang disebut "Saints" (berlatar keluarga kaya dan pandai) dan "Roughnecks" (berasal dari keluarga ekonomi lemah dan tidak pandai), orang menjadi devian bukan karena pertama-tama tingkah lakunya merepresentasi distorsi, melainkan label sosial.Â
Label sosial membuat individu mendapat 'lower self-image', menolak diri sendiri, dan bahkan semakin condong berlaku melawan arus normal. Jadi orang menjadi menyimpang bukan karena tindakannya 'per se' demikian, tetapi karena konstruksi sosial melalui 'labeling'.
Imbas buruk teori 'Labeling' orang NTT kasar-keras kepala dan jujur-transparan sangat potensial dimainkan di dalam pementasan PILKADA 2020 di NTT. Paslon dan para buruhnya akan dengan mudah menjustifikasi skenario busuk pemenangan pihaknya dengan segala bentuk tindakan massal berpiranti 'labeling' di atas. Mudah saja untuk mengoposisi-binerkan dua atribut hibrid ini.
'Labeling' dapat dipakai sebagai instrumen untuk melegitimasi aksi brutal kolektif sebagai pengejawantahan patriotisme. Bentrokan horizontal antar pendukung Paslon dapat dipermisifkan dengan praanggapan bahwa orang kita memiliki karakter demikian dan tidak dapat dikoridori dalam hal ini. Paslon dapat mengambil hati konstituen, semakin memperkuat kohesi afeksional pendukung lewat ujuran-ujuran 'labeling'.
Paslon juga mampu membela diri dengan 'labeling' yang positif sambil mengkambinghitamkan lawan. Politisi terampil dalam memalaikatkan diri dan mensetankan lawan.Â
Kadang kala fiksi setan harus diciptakan supaya kehadiran malaikat masuk akal. Narasi kisah kompetisi baru menarik bila lawan dicitrakan sebagai personifikasi kejahatan meskipun cara itu tidak humanis. Memang lawan selalu bernuansa negatif, jahat, identik dengan musuh. Padahal sayembara politik meniscayakan lawan, bukan musuh.