Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

VBL Tidak Salah

8 Juli 2020   15:19 Diperbarui: 8 Juli 2020   15:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terminologi 'salah' dapat ditafsirkan beraneka sesuai konteks penggunaanya. Kita mengenal salah di dalam logika murni, salah secara matematis, saintis, sosial, budaya, dan lain-lain. Saya memotret term kunci ini di dalam dua ranah saja: etika dan politik.

Takaran salah secara etis secara umum berdasarkan sarana atau tindakan eksternal, motivasi pelaku, dan konteks. Suatu tindakan dikatakan salah bila dua atau bahkan hanya salah satu unsur ini tidak terpenuhi. Katakanlah VBL bertujuan membangun kesejahteraan masyarakat Luwuk dan Lingko Lolok dan Manggarai Timur (motivasi) mengizinkan pelaksanaan proyek tambang dan pabrik semen tersebut dilaksanakan (sarana) tanpa persetujuan masyarakat setempat yang langsung terdampak (konteks), VBL secara etis salah. Apakah evaluasi etis ini juga berlaku di dalam tataran politik?

Tidak mudah untuk menjawab soal di atas. Niccolo Machiavelli pernah mengikhtiarkan demarkasi realisme politik dan corong etika-moralitas (dipakai satu paket dua konsep ini) di dalam karyanya "Il Principe" (Inggris: The Prince, 1958). Filsuf politik yang dikenal sebagai perintis realisme politik modern ini mendorong pemisahan domain politik dan etika-moralitas karena alih-alih mendorong kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian, etika-moralitas malah menggiring Semenanjung Italia ke dalam kekhaosan. Italia diporak-porandakan dan dianeksasi oleh bangsa besar lain seperti Spanyol karena para pangeran menundukan diri pada otoritas agama (moralitas).

Di dalam karya fenomenal di atas, sebenarnya berupa tulisan pribadi untuk Pangeran Florence, Machiavelli meminta Pangeran Florence untuk memainkan orkestra politik sebagai sosok setengah manusia setengah hewan. Penguasa ideal adalah pribadi yang sanggup menjadi panglima militer yang terampil dan dapat mengendalikan angkatan perangnya dengan baik.

Di mana peran agama? Otoritas atau moralitas agama dapat diterima bila membangun kohesi sosial. Dengan kata lain, etika dan agama tidak lebih dari instrumen politik. Politik tidak boleh tunduk pada agama. Agama, selalu identikan dengan etika-moralitas karena menjadi sumber prinsip-prinsip moralitas, harus melayani kepentingan politik.

Gagasan revolusioner Machiavelli di atas di era kita ditafsirkan banyak orang sebagai pandangan amoral. Padahal Machiavelli hanya meminta agama dan politik bermain pada ranahnya dan berkolaborasi secara produktif.

Apakah lantas etika-moralitas harus menggulung tikar dari kamar politik? Dengan kata lain, apakah politik menjadi bebas etika, bebas nilai? Jawabannya tidak. Ilmuwan-ilmuwan sosial, bahkan saintis sekalipun mengakui bahwa teori apapun selalu memiliki orientasi nilai dan bebas kepentingan. Di dalam arena politik, para ilmuwan mengakui implikasi nilai dari kajian-kajian teori politik (Ellen Grigsby, 2009).

Meskipun demikian, tidak mudah untuk mengukur tindakan politis dengan barometer moralitas. Kebijakan dan strategi politik selalu berlapis. Karena itu, validitas dan legitimasi realisme politik harus diteropong dengan "frame" politik. Tuntutan semacam ini sangat urgen dan niscaya di dalam sistem demokrasi liberal yang kapitalis.

Konsekuensi demokrasi liberal-kapitalis

Demokrasi liberal selalu juga mengandung kapitalisme. Gagasan seperti ini mudah kita temukan di dalam konstelasi politik Amerika Serikat. Masyarakat Amerika sadar kalau sistem demokrasi mereka paradoksal karena mengandung dua idealitas yang saling bertentangan: kebebasan dan kesetaraan. Mereka ingin mendapatkan kebebasan individual, terutama "free market" di satu sisi, tetapi di sisi lain mereka juga menghendaki kesetaraan. Padahal, ruang kebebasan yang meminimalisir intervensi negara justru mengali jurang kesenjangan yang tak terjembatani bagi suatu bangsa (Martin Marger, 1987, 2008).

Berbeda dengan Amerika Serikat, bangsa Indonesia sejak awal bahkan sebelum pendiriannya memahami diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kepentingan kolektif daripada kebebasan personal. Karena itu, sistem politik Indonesia berparadigma demokrasi Pancasila (Ed. Rev., Miriam Budiarjo, 2008). Salah satu elemen eklektis inkorporasi Pancasila sebagaimana diramu Soekarno adalah sosialisme Marxis (Kaelan, 2018). Karena itu, demokrasi Pancasila kita sebenarnya memiliki karakter sosialis, lebih dekat dan sinkron dengan sosialisme. Meskipun "de jure" demikian, "de facto" roda politik Indonesia berjiwa demokrasi liberal yang kapitalis. Apa buktinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun