Saya tidak bermaksud membela Pak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur pilihan masyarakat Nusa Tenggara Timur (Selanjutnya akan disingkat NTT). Curahan sederhana di dalam artikel pendek ini hanya berusaha membaca peta kebijakan politik dan sekuensi imbasnya secara luas. Keyakinan saya, membuka mata dan meneropong objek tertentu secara luas akan lebih membantu kita memahami hal-hal kecil. Tidak berarti hal kecil di depan mata diabaikan. Justru kita akan lebih tau duduk persoalan titik kecil di bola mata kita.
Siapa yang tidak mengenal Pak Viktor Bungtilu Laiskodat, singkatan menterengnya VBL di NTT? Putra Timor ini viral di media sosial bukan hanya karena aksi dan ujaran kontroversialnya selama menduduki kursi kepemimpinan politik di tanah Flobamora. Lontaran kata-kata dan tindakan yang memancing polemik sudah mengisi harian hidupnya sebelum ia menjajaki karir sebagai politisi Partai Nasdem.
Bermain dengan kekerasan dan premanisme boleh dibilang medan hidupnya. Ia tidak hanya keras di tanah kelahirannya. Namanya malah makin melejit tinggi tatkala ia mendulang nasib di kota metropolitan Jakarta yang 'sangat tidak ramah' dengan hidup. Ia tidak malu dengan "track-record" kebengisannya. Karena itu, orang nomor satu di NTT ini sendiri mengakui bahwa ia adalah profesor penjahat.
Karena sudah malang melintang dengan dunia yang 'keras', sejak memegang tampuk pemerintahan di NTT, kata-kata dan tindakannya yang "out of common sense" 'tata krama kehalusan' tetap mengalir "by nature". Ia tidak jarang membentak orang, termasuk bawahannya sendiri yang membidangi pos-pos penting. Ia tidak sungkan memberi sanksi ala militer terhadap para pembantunya.
Tuduhan bersalah bertubi-tubi
Kasus terakhir yang sempat viral di republik maya adalah keberaniannya melompat pagar untuk berdialog langsung dengan warga demonstran di wilayah Besipa'e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (VoxNtt 12/052020, halaman Facebook Andry Manage dan Whatsapp). Tindakan VBL ini memanen tidak sedikit komentar pedas dan tidak terpuji dari warga NTT.
Gaung aksi akrobatik di atas belum mereda, VBL 'berulah' lagi dalam kunjungan kerja di wilayah Manggarai Timur. Ia dikecam karena ingin melanjutkan proses perizinan proyek pertambangan batu gamping dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok (TimexKupang.com, 26/06/2020). Sontak banyak pihak mempertanyakan janji politiknya pada periode kampanye. Kala itu, ia bertekad untuk menolak dan menutup semua pertambangan di NTT. Maka, mengijinkan proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok beroperasi adalah pengingkaran atas janji politiknya dan pengkhianatan terhadap rakyat pemilihnya.
Tuduhan lain berupa buah bibir yang tersebar bebas di dalam ruang publik. Substansinya sudah klasik, tetapi tetap kuat menyusupi lapisan epistemik banyak orang. Di balik proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, terdapat kemungkinan VBL berbagi rantang keuntungan atau berbalas budi dengan para korporat yang mendukung dirinya untuk memenangkan kompetisi PILGUB NTT 2018. Vonis semacam ini, yang perlu dibuktikan melalui penelitian meskipun sulit, tidak sekadar gosip abalan. Tesis dasar tuduhan ini berkembang dari penelitian sosiologis atas sumber kekuasaan perspektif elit dan kelas (Dobratz, dkk., 2012). Persekongkolan korporat dan politisi dalam memenangkan kompetisi politik adalah hal yang 'lumrah' di banyak negara demokratis.
Berdasarkan tuduhan bersalah bertubi-tubi di atas, lantas bisakah kita menyimpulkan bahwa VBL bersalah? Tulisan ini akan memantik pembaca untuk tidak blunder dalam memvonis dan berpikir lebih global dan sistemik.
Salah: etis atau politisÂ
Bertanya apakah Pak VBL salah dan langsung dijawab tanpa klarifikasi konseptual lebih dulu atas term kunci sama dengan bepergian tanpa peta, tanpa tau arahnya kemana. Blunder seperti ini juga bisa menjadi ekspresi moralisme sentimental: karena tidak suka dan tidak bisa berargumentasi, langsung melompot ke kesimpulan: Pak VBL salah.