Mohon tunggu...
Abigail Adeline
Abigail Adeline Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari ilmu

Saya suka menulis, lumayan. Tapi jarang sih. Kalau kepikiran ide, langsung tulis wkwkkw.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku di Sore Itu

2 Oktober 2024   21:30 Diperbarui: 4 Oktober 2024   01:14 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedang berada di kantin siang ini, membeli eskrim rasa buah untuk meredakan panas yang datang dari mie goreng rendang tadi. Saat memasuki kelas, aku terus mengibas-ngibaskan buku tulis di depan wajahku, pedas dan panas, itu yang kurasakan. Eskrim rasa buah tidak begitu membantuku.

Awan hitam mulai menutupi teriknya matahari, diikuti oleh mataku yang berat tak secerah mentari, "Siapa suruh tidur?" Wasena menepuk pundakku, "Apaansih, mata ketutup aja belom." balasku dengan kesal sambil mencubit telapak tangannya yang masih ada di mejaku. 

"Belum nutup mata aja udah ketahuan." jawab Wasena, berarti aku sudah keseringan tidur dalam kelas. 

Setelahnya kantukku sungguh tak terbendung, namun tidak mau ketinggalan pelajaran juga. "Berisik ah, kalau ada catatan infoin aja, Na, makasih banyak."

Aku bisa mendengar Wasena menghela nafas berat, aku hanya bisa membalikkan badanku ke arah tembok.  

* * *

"Ares. Bangun, pulang." pinta Wasena padaku yang tertidur seperti manusia gembel, bahkan sudah ada setidaknya satu pulau yang berhasil kubuat di meja.

"Jorok banget sih?! Wuekh." lagi-lagi Wasena melihat ke arahku yang mengelap bibir dengan dasi abu-abu khas anak SMA. 

"Lebay amat, kayak gak pernah ngiler aja." balasku dengan sindiran lemas. "Pernah, tapi gak di meja sekolah. Ayoklah." Wasena menepuk-nepuk pundakku agar aku cepat berjalan sambil mengusap wajahku, ah benci banget kayak anak kecil.

* * *

https://open.spotify.com/track/04IXeEjiQ4kdS7JJF9pjxT?si=jXSiRtIzRJ-5K4bU9OUo3w

"Ares, kamu pulang bareng siapa? Aku udah mau pulang ini." keluh Wasena padaku, jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sama Bunda, katanya lagi on the way." Wasena mengangguk mengerti, "Yaudah, lima menit lagi supirku dateng, yakin gak mau nebeng aja?" tanya Wasena. 

Aku menggeleng yakin, "Enggak, Na, makasih banyak ya." jawabku. "Itu dia, okelah Res, besok jangan lupa mie goreng lagi! Jumbo!" seru Wasena, aku hanya menggeleng ribut padanya dan dibalas tawaan. 

* * *

Jujur saja, ini sudah jam empat lewat dua puluh menit selama aku menunggu Bunda datang. Memang se-macet apa pakai motor dari rumah ke sekolah? Aku menghela nafas pasrah. Teman-temanku satu persatu mulai berjalan menjauhi area sekolah, hanya aku yang tersisa. Sambil ditemani angin yang bertiup, membuat rambutku melambai-lambai di udara. 

BRUKKK

Aku bisa mendengar dari kejauhan, suara tabrakan antar pengendara, serius, ini pertama kalinya.

"Males banget lihat orang meninggal setiap harinya." keluhku, sambil terus terduduk di kursi tunggu parkiran. Sampai jam sudah menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Aku menggaruk kepalaku dengan kasar.

"Akhhh Bunda di mana sih! Lupa ya ada Ares?" ucapku dengan kesal dan agak kencang, karena di sana sepi, semuanya mengarahkan fokusnya pada pengendara tadi. 

"Ares!" panggil Pak Parman padaku dengan nafas yang terengah-engah. "Itu- itu Res!" aku menghampiri Pak Parman dan menenangkannya. 

"Tenang Pak, tenang, ada apa? Kok kayak habis dikejar warga?" tanyaku perlahan. Pak Parman menggeleng dan menarik lenganku dengan keras keluar dari gerbang sekolah. 

"Kenapa Pak? Ada apa sih," aku melihat tidak ada yang aneh, namun tidak ketika aku melihat ke jalan raya. 

"BUNDA?!" aku berteriak histeris begitu melihat seorang perempuan berkerudung hitam bermotif bunga yang sedang diangkut warga kedalam mobil yang entah milik siapa, melaju cepat tak memerdulikan keluarga korban yang melihat.

"Pak Parman?! Udah setengah jam baru kasihtahu saya!? Pakkk! Bunda Pak! ..." kakiku lemas tertekuk dibawah Pak Parman. Pak Parman menenangkanku, mengelus lembut pundakku yang tidak lagi kuat untuk mengangkat galon. "Maaf Dek Ares, tadi Pak Parman baru kembali dari warteg." jelas Pak Parman

"Pak... saya udah gak punya siapa-siapa lagi selain Bunda.. saya mau nyusul Bunda ke rumah sakit, Bunda ke rumah sakit kan, Pak?" tanya Ares dengan penuh harapan dan senyum mirisnya.

"Kita nyusul Bunda aja, Dek." aku mengangguk dan naik ke jok motor Pak Parman yang sebenarnya sudah melihat semua kejadiannya. Tidak mau memberitakan yang sebenarnya terjadi padaku yang frustrasi.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun