BRUKKK
Aku bisa mendengar dari kejauhan, suara tabrakan antar pengendara, serius, ini pertama kalinya.
"Males banget lihat orang meninggal setiap harinya." keluhku, sambil terus terduduk di kursi tunggu parkiran. Sampai jam sudah menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Aku menggaruk kepalaku dengan kasar.
"Akhhh Bunda di mana sih! Lupa ya ada Ares?" ucapku dengan kesal dan agak kencang, karena di sana sepi, semuanya mengarahkan fokusnya pada pengendara tadi.Â
"Ares!" panggil Pak Parman padaku dengan nafas yang terengah-engah. "Itu- itu Res!" aku menghampiri Pak Parman dan menenangkannya.Â
"Tenang Pak, tenang, ada apa? Kok kayak habis dikejar warga?" tanyaku perlahan. Pak Parman menggeleng dan menarik lenganku dengan keras keluar dari gerbang sekolah.Â
"Kenapa Pak? Ada apa sih," aku melihat tidak ada yang aneh, namun tidak ketika aku melihat ke jalan raya.Â
"BUNDA?!" aku berteriak histeris begitu melihat seorang perempuan berkerudung hitam bermotif bunga yang sedang diangkut warga kedalam mobil yang entah milik siapa, melaju cepat tak memerdulikan keluarga korban yang melihat.
"Pak Parman?! Udah setengah jam baru kasihtahu saya!? Pakkk! Bunda Pak! ..." kakiku lemas tertekuk dibawah Pak Parman. Pak Parman menenangkanku, mengelus lembut pundakku yang tidak lagi kuat untuk mengangkat galon. "Maaf Dek Ares, tadi Pak Parman baru kembali dari warteg." jelas Pak Parman
"Pak... saya udah gak punya siapa-siapa lagi selain Bunda.. saya mau nyusul Bunda ke rumah sakit, Bunda ke rumah sakit kan, Pak?" tanya Ares dengan penuh harapan dan senyum mirisnya.
"Kita nyusul Bunda aja, Dek." aku mengangguk dan naik ke jok motor Pak Parman yang sebenarnya sudah melihat semua kejadiannya. Tidak mau memberitakan yang sebenarnya terjadi padaku yang frustrasi.
TAMAT