Mohon tunggu...
Aidila Sabila
Aidila Sabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

A hard worker and responsible

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya Narkolema: Pendidikan Seks Masih Dianggap Tabu

14 Maret 2024   19:39 Diperbarui: 14 Maret 2024   20:39 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin cepat berlalunya waktu, kemajuan teknologi semakin mempercepat langkahnya. Inovasi yang terus berkembang mempermudah manusia dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Teknologi informasi dan komunikasi, telah mengalami perkembangan yang sangat cepat.

 Internet, sebagai salah satu contohnya, telah mengubah secara signifikan kehidupan kita, dengan membawa dampak baik dan buruk. Salah satu permasalahan yang cukup besar dari dampak negatif internet yang masih relevan hingga sekarang adalah keberadaan situs-situs pornografi atau narkotika secara daring.

Pornografi adalah gambar, video, atau materi lainnya yang dirancang untuk membangkitkan gairah seksual. Pornografi dapat menyebabkan adiksi atau kecanduan bagi penontonnya. Seseorang dapat mengalami ketergantungan pada pornografi ketika mereka kesulitan untuk mengendalikan atau mengurangi konsumsinya, meskipun sadar akan dampak buruknya terhadap kesehatan fisik, mental, dan interaksi sosial.

Narkolema, yang merupakan singkatan dari "Narkoba Lewat Mata," merujuk pada pornografi yang dapat menyebabkan ketergantungan dan memiliki dampak yang mirip dengan penggunaan narkotika. Pornografi adalah narkoba di era milenial baru yang membuat dunia berada di tengah-tengah bencana yang mengerikan (Subiakto,2020).

Selain dapat mengacaukan kehidupan, pornografi dapat merusak otak khususnya pada bagian PFC (Pre-Frontal Cortex), PFC adalah kontrol di area kortikal pada otak bagian depan yang mengatur fungsi kognitif dan emosi. Jika PFC rusak, maka akan timbul gejala-gejala yang ditandai dengan kurangnya daya berkonsentrasi, tidak dapat membedakan benar dan salah, berkurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan dan menjadi pemalas.

Dalam penelitian Hardiningsih, dkk (2021) usia 12-17 tahun merupakan kelompok yang paling banyak mengakses pornografi di internet. Anak dan remaja rentan terpapar pornografi sebab mereka mudah meniru apa yang telah mereka lihat, baca, ataupun dengar. Oleh karena itu, Anak-anak dan remaja yang terpapar pornografi memiliki memori gambar yang terukir seumur hidup dalam ingatannya.

Bahaya pornografi bisa memicu pelecehan anak dan mengajarkan inses, hal tersebut bisa terjadi karena anak adalah peniru yang ulung. Jika anak terpapar secara rutin dengan pornografi, maka kemungkinan mereka melakukan pelecehan seksual terhadap orang lain akan meningkat.

Contoh kasusnya terjadi pada Januari 2023, terdapat kasus pemerkosaan siswi TK oleh tiga bocah berusia 8 tahun di Dlanggu, Mojokerto. Kasus serupa juga terjadi di Jawa Timur, dan lagi-lagi pelakunya adalah seorang anak SMP yang kerap menonton video porno sehingga memperkosa adik kandungnya hingga hamil dan melahirkan secara prematur.

Lantas, apa upaya lembaga pendidikan dalam mengentaskan permasalahan tersebut?

Salah satu upaya yang dapat dilakukan lembaga pendidikan adalah dengan memberikan pendidikan seks . Namun, pada kenyataannya pendidikan seks masih sangat lemah dan dianggap sebagai hal tabu di Indonesia. Mengapa pendidikan seks di Indonesia masih dianggap sebagai hal yang tabu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun