Mohon tunggu...
Aidi Kamil Baihaki
Aidi Kamil Baihaki Mohon Tunggu... Guru - Berusaha melinearkan membaca dan menulis

Memandang literasi sebagai kegiatan positif yang serius atau pun bermain-main.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kami Butuh Makan, Bukan Kosakata

5 November 2023   01:43 Diperbarui: 5 November 2023   02:11 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap kali momen menjelang Pilpres, kita disuguhi berbagai tulisan, gambar dan video ketidakwarasan. Informasi sesat sekaligus menyesatkan.

Entah sengaja atau tidak, berita-berita sepotong-sepotong bertebaran tak terkendali. Si pembuat konten sudah tak memperdulikan etika. Tujuan utamanya adalah kontennya laris manis, seperti jualan jagung bakar di awal tahun baru. Kemudian konten itu disebarkan oleh mereka yang mendukung dengan tanpa banyak pertimbangan, walaupun akibatnya justeru berpotensi mempermalukan diri sendiri akibat kesalahan pemahaman.

Jika dipersentase, konten yang isinya hanya fokus menjelek-jelekkan orang / kelompok lain sangat massif dishare. Dijadikan alat untuk membunuh karakter seseorang. Bukan karena mereka benar-benar tidak tahu bahwa konten yang disebarkannya salah. Justeru sebagian dari mereka sudah sangat tahu. Tetapi demi keuntungan kelompoknya, mereka memutarbalikkan fakta, membelokkan narasi yang sehat menjadi seolah-olah sakit, membesar-besarkan suatu hal yang menurut mereka salah padahal kalau pun memang demikian hanyalah hal remeh.

Salah satu narasi dari Capres yang saya baca dan kadang dijadikan caption oleh para penikung, misalnya pernyataan Anies Baswedan tentang perlunya menambah kosakata bahasa Indonesia, mereka menanggapinya dengan kalimat: Rakyat butuh makan, bukan kosakata. Rakyat butuh kerja nyata, bukan permainan kata!

Sebenarnya dari respon-respon seperti ini kita dapat mengukur tingkat keawaman literasi seseorang. Terutama jika dirinya memang tidak memahami maksud pernyataan Bapak Anies. Dalam rangka memelekkan literasi itulah tulisan ini saya buat.

Dalam ilmu tafsir, para ulama memahami suatu ayat tidak hanya berdasar pada teks. Mereka juga mengaitkannya dengan asbabun nuzul.

Suatu ayat diturunkan karena berkaitan dengan suatu kejadian. Demikian pula dalam suatu teks, di situ ada konteks. Dua hal itu harus sama-sama menjadi bahan kajian untuk memahami nilai gagasan.

Sekilas memang benar bahwa penambahan 250 ribu kosakata bahasa Indonesia bukanlah hal urgen yang diharapkan masyarakat. Itu kemudian menjadi bahan meme kelompok rival Bapak Anies. Mereka tidak perduli lagi pada konteks, yang penting pernyataan tersebut bisa dipelintir sedemikian rupa untuk mencela. Padahal bila dikaitkan dengan konteksnya, mereka akan mengakui bahwa gagasan tersebut mempunyai nilai kebenaran. Konteks itu disembunyikan sedemikian rupa, bahkan oleh media. Tujuannya jelas agar bisa mendatangkan kegaduhan antar kelompok. Media bersangkutan akan sangat mudah menaikkan ratingnya.

Terkait dengan isu penambahan kosakata di atas... Ya iyalah, tidak akan urgen jika disampaikan dalam pertemuan kelompok tani. Tetapi Bapak Aniea tidak menyampaikan gagasan ini di depan para penanam tembakau, bukan di hadapan para pedagang, juga bukan dalam acara yang berkaitan dengan ekonomi.

Mari kita tengok bagaimana konteks dari pernyataan Bapak Anies:

Bisa baca di sini

Tujuan dari penambahan kosakata tersebut adalah untuk mengangkat derajat bahasa Indonesia menjadi bahasa komunikasi regional, bahkan internasional, terutama di tingkat ASEAN.

Jika konteksnya sedemikian, maka tentu saja penambahan kosakata baru menjadi sangat vital. Dan justeru gagasan ini dapat memberikan poin lebih terhadap penggagasnya. Dengan mengetahui konteks ini maka kita bisa dapat memberikan penilaian betapa visionirnya pemikiran Bapak Anies.

Marilah kita menjadi warga netizen yang literatif, mengambil kesimpulan yang tepat bukan berdasarkan teks saja.

Sudah lumrah media akan menggunakan judul provokatif untuk mendapatkan perhatian calon pembaca.

Sejak era reformasi, begitu kran kebebasan pers dibuka, hiruk pikuk media langsung terasa. Bahkan Gus Dur pun turut menjadi korbannya. Misalnya pernyataan beliau, ucapan assalamu 'alaikum boleh diganti dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, atau pun selamat malam, tanpa penjelasan dari pihak media mengenai detail maksud pernyataan Gus Dur. Padahal beliau mengulasnya dengan jelas bahwa penggantian itu bukan dimaksudkan pada ucapan salam dalam shalat. Penjelasan tersebut hanya terdapat di media yang berusaha mengcounter serangan terhadap Gus Dur. Sementara di berita-berita lainnya, keterangan ini sama sekali tidak dicantumkan. Media seperti ini berprinsip, semakin ramai akan semakin menguntungkan. Gus Dur bukannya tidak tahu bahwa statemennya dipelintir. Beliau diam saja karena menjaga komitmen kebebasan pers yang memang sudah sepanjang masa orde baru selalu ditekan dan disetir. Sayangnya kebebasan itu menjadi kebablasan.

Terakhir saran saya, jadikanlah diri kita sebagai pribadi yang literatif dan mencerahkan. Bukannya ikut-ikutan media yang memang mencari untung dari kekisruhan. Toh keuntungan mereka bukanlah keuntungan untuk anda juga. Kita cerahkan pikiran sendiri, dan cerahkan pikiran orang lain dengan tidak ikut serta mengeshare pernyataan yang disesatkan.

Salam Literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun