"Kau merasa nyaman?" selidik Meli.
Pakola tak menjawab. "Kamu punya pengalaman yang sama hebatnya?" Pakola balik bertanya.
Meli diam sebentar.
"Hampir sama. Aku pernah digunakan untuk menyumpal mulut orang kaya yang sombong!"
"Wow... Itu lebih hebat! Bagaimana ceritanya?
"Si orang kaya yang sepertinya adalah pejabat pemerintah, sedang berpidato tentang kemiskinan di sebuah acara kampanye. Majikanku yang tahu betul bahwa isi pidato itu tidak sesuai dengan sifat si Kaya, merasa kesal. Dia melompat ke arah mimbar, dan melesatkan aku dari kakinya menuju mulut si Orang Kaya." Meli bercerita dengan cukup bersemangat. Ia yakin Pakola akan teringat sesuatu.
"Eh, sebentar. Kaukah yang dipakai perempuan setengah tua pada malam itu di Gedung Serbaguna?" Tanya Pakola.
"Ya! Berarti kau berada di sana juga?"
"Betul! Tuankulah yang mulutnya disumpali oleh tuanmu!" Seru Pakola.
Meli pura-pura terkesiap. "Jadi... Oh, apa artinya kita akan jadi musuh?" Tanya Meli.
"Tidak! Biarlah Tuan atau majikan kita yang bermusuhan. Kita tidak perlu ikut-ikutan." Pakola menawarkan senyum persahabatan. "Oh, ya... Namamu? Maaf, aku lupa." Tanyanya.
"Setuju! Kasta kita tetaplah ditentukan oleh Pemilik. Murah atau mahal, hanya ditentukan oleh bandrol kita. Toh pada akhirnya tetap saja ada di bawah telapak kaki." Meli bernafas lega. "Namaku Meli!"