Lorong gelap di Bali, bekas 'Kampung Rusia', kini menyimpan ironi pelanggaran hukum dan komunitas yang terabaikan.
Bali, pulau seribu pura, selalu memancarkan pesona yang tak lekang oleh waktu. Keindahan alamnya, kekayaan budayanya, dan keramahan penduduknya menjadikan Bali destinasi impian wisatawan dari penjuru dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul sebuah narasi unik, sebuah tempat di Ubud yang dikenal sebagai “Kampung Rusia”.
Kabarnya, kawasan bernama Ubud Parq ini tumbuh menjadi enklave bagi komunitas Rusia, lengkap dengan segala atributnya. Restoran yang menyajikan hidangan Rusia, percakapan sehari-hari dalam bahasa Rusia, bahkan nuansa arsitektur yang sedikit berbeda dari gaya Bali pada umumnya.
Ubud Parq, menurut Tempo, bahkan memiliki slogan ambisius sebagai “kota masa depan”.
Dari Gemerlap Kota Masa Depan ke Lorong Kegelapan
Namun, impian kota masa depan ini harus terhenti secara dramatis. Pemerintah Kabupaten Gianyar mengambil tindakan tegas dengan menutup permanen Ubud Parq.
Bukan sekadar penertiban biasa, penutupan ini memiliki implikasi hukum yang serius. Seperti yang diberitakan Bali Expat dan The Jakarta Post, direktur Ubud Parq, seorang warga negara Jerman, ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian atas dugaan pelanggaran alih fungsi lahan.
Sekarang, coba kita bayangkan perubahan yang terjadi. Jika dulu kita membayangkan Ubud Parq sebagai kawasan yang hidup dan modern, kini yang tersisa adalah lorong masuk yang justru menyambut kita dengan kegelapan.
Lorong gelap ini bukan hanya sekadar kondisi fisik minim penerangan, tetapi juga simbol dari redupnya harapan dan suramnya masa depan kawasan tersebut.
Kontras ini sangat mencolok. Dari gemerlap kota masa depan” yang dijanjikan, kini terperosok dalam lorong kegelapan penutupan dan jeratan hukum.