Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Panen Raya Pengacara Kala Pilkada Bersengketa

27 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 28 Januari 2025   14:44 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengketa pilkada di MK bukan hanya politik, tapi panggung bisnis pengacara dengan fee fantastis.

Di balik ramainya berita soal sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), ada cerita lain yang jarang diangkat? 

Kita selalu disuguhi drama politiknya, perebutan kursi kepala daerah, klaim kecurangan, dan tangisan kekalahan. Tapi jika kita mundur sedikit, memperhatikan panggung MK lebih seksama. 

Di sana, selain politisi yang berjuang, ada juga sosok-sosok yang justru sedang panen di tengah sengketa ini. Mereka adalah para pengacara.

Arena Pertarungan Terakhir Sekaligus Pasar Jasa Hukum yang Menggiurkan

Buat para calon kepala daerah yang kalah, MK itu bisa dibilang benteng terakhir.

Setelah semua upaya kampanye, setelah dana politik terkuras habis, kekalahan di Pilkada serasa jadi pukulan telak. Tapi, harapan itu belum sepenuhnya padam. 

MK hadir sebagai secercah harapan, tempat mereka bisa menggugat hasil Pilkada, mencari celah hukum, dan siapa tahu, bisa membalikkan keadaan.

Ironisnya, di saat para politisi ini memasuki 'pertarungan terakhir' dengan energi dan sumber daya yang tersisa, bagi para pengacara, MK justru menjadi 'kesempatan pertama'. 

Bagi kalangan advokat, the last battle ini menjadi arena untuk menangguk keuntungan. Ini bukan lagi soal kalah menang di arena politik, tapi soal menangkap peluang bisnis di arena hukum. 

Para pengacara ini mungkin tidak terlalu peduli siapa yang menang atau kalah Pilkada.

Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana menempatkan diri, apakah sebagai kuasa hukum pemohon (yang kalah), termohon (KPU), atau pihak terkait (yang menang).

Fenomena ini bahkan tidak luput dari perhatian para hakim MK sendiri. Hakim Konstitusi Arief Hidayat, seperti yang dikutip dari Kompas.id, sampai berkelakar menyebut musim sengketa Pilkada sebagai musim panen raya atau malah musim durian rontok bagi advokat. Di tengah sidang yang berjalan tegang dan serius, hakim masih sempat bercanda soal ini.

Kelakar Hakim Arief ini bukan tanpa dasar. Data dari Kompas.id menunjukkan, pada sengketa Pilkada serentak kali ini, ada 310 perkara yang diajukan ke MK. Artinya, potensi pasar jasa hukumnya sangat besar.

Jika menghitung, ada peluang 3 x 310 perkara yang bisa diraih advokat, yakni dari pemohon, termohon, dan pihak terkait.

Tidak heran kalau gedung MK selama masa sengketa Pilkada selalu ramai, penuh sesak dengan para pengacara yang hilir mudik, seperti yang digambarkan. 

Ini bukan lagi sekadar gedung pengadilan, tapi sudah mirip 'bursa' jasa hukum Pilkada.

Pertanyaan yang Menggema di Tengah Sengketa

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, berapa sih harga jasa pengacara di 'pasar' sengketa Pilkada ini?

Teaser artikel Kompas.id sendiri sudah provokatif. Berapa fee pengacara yang menjadi kuasa hukum para pihak saat sengketa hasil pilkada di MK?

Bukan pertanyaan basa-basi, tapi pertanyaan inti yang menggambarkan fokus artikel ini, sisi finansial dari sengketa Pilkada.

Jawaban dari pertanyaan ini ternyata cukup mencengangkan. Kompas.id melaporkan, berdasarkan informasi yang diperoleh, fee pengacara untuk satu perkara sengketa bisa bervariasi. 

Seorang advokat muda yang baru beberapa kali beracara di MK mengatakan, honor yang ia peroleh untuk mendampingi pemohon sengketa di tingkat kabupaten lebih kurang Rp 500 juta.

Untuk tingkat kabupaten saja sudah setengah miliar, apalagi tingkat provinsi? Untuk tingkat provinsi, nilai honorarium yang harus dikeluarkan pasangan calon dan timnya bisa menjadi jauh lebih besar, miliaran rupiah. 

Bahkan, untuk sengketa Pilkada di daerah Papua yang kompleks, KPU dikabarkan mengeluarkan biaya hingga Rp 2 miliar lebih.

Ada beberapa faktor kenapa fee pengacara sengketa Pilkada ini bisa selangit?

Pertama, pengalaman dan nama besar pengacara. Semakin berpengalaman dan punya nama, honor akan semakin besar. 

Pengacara kondang seperti Denny Indrayana atau mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, tentu tarifnya beda dengan pengacara muda yang baru merintis karir. 

Bahkan, rumornya Denny Indrayana bisa mendapatkan fee Rp 10 miliar untuk satu perkara Pilkada provinsi, dan Hamdan Zoelva dua kali lipatnya! 

Meski angka ini dibantah oleh Hamdan Zoelva, tapi rumor ini menunjukkan betapa mahalnya jasa pengacara papan atas di sengketa Pilkada.

Kedua, kompleksitas perkara. Sengketa Pilkada Papua, misalnya, selalu dianggap rumit dan mahal. Kerumitan ini otomatis menaikkan harga pengacara. 

Ketiga, cakupan wilayah dan jumlah penduduk. Sengketa di provinsi yang luas dan padat penduduk tentu lebih kompleks dan mahal dibanding sengketa di kabupaten kecil. 

Denny Indrayana juga mengakui faktor-faktor ini mempengaruhi besaran fee. 

Terakhir, kemampuan finansial klien. Calon kepala daerah yang punya 'kantong tebal' tentu bisa membayar pengacara dengan harga lebih tinggi.

Antara Hak Konstitusional dan Aji Mumpung

Di tengah 'hiruk pikuk' bisnis jasa hukum sengketa Pilkada ini, ada juga pengacara yang mencoba menjaga etika. 

Viktor Santoso Tandiasa, seorang advokat konstitusi, mengaku tidak mematok standar harga tinggi. "Kalau saya sih masih sangat memperhitungkan hal itu," katanya, merujuk pada klien yang sudah 'habis-habisan' secara finansial di Pilkada.

Viktor juga mempertimbangkan tingkat kerumitan perkara dan potensi dismissal (penolakan gugatan) untuk menentukan fee. "Maksud saya sebagai lawyer, enggak aji mumpung gitu lo. Maksudnya saya enggak langsung mau nembak," ujarnya, seperti dikutip Kompas.id.

Sikap Viktor ini mungkin menjadi oase di tengah padang pasir bisnis jasa hukum sengketa Pilkada yang cenderung komersial.

Namun, realitasnya, godaan 'aji mumpung' di momen 'durian runtuh' ini tentu sangat besar. Apalagi, seperti yang diungkapkan Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Para pihak bahkan rela mengeluarkan biaya ratusan juta hingga puluhan miliar untuk membayar jasa lawyer andal dan populer.

Fenomena 'musim durian rontok' ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam. Apakah sengketa Pilkada di MK ini sudah benar-benar menjadi arena pencarian keadilan pemilu, atau justru arena bisnis yang semakin mahal?

Fadli Ramadhanil menegaskan bahwa, mahalnya fee pengacara di MK ini membuat biaya politik untuk kontestasi pilkada menjadi semakin mahal. 

Calon kepala daerah harus menyiapkan dana sejak awal, dari kampanye sampai sengketa di MK. Akibatnya, hanya kandidat yang punya sumber daya finansial besar yang bisa bertarung sampai akhir.

Ini tentu menjadi ironi dalam demokrasi kita. Sengketa Pilkada yang seharusnya menjadi saluran untuk mencari keadilan pemilu, justru berpotensi menjadi ajang transaksi bisnis jasa hukum yang mahal. 

Apakah ini berarti hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa mendapatkan keadilan? Apakah suara rakyat yang sebenarnya jadi terpinggirkan oleh kalkulasi bisnis para pengacara dan politisi? 

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu perlu kita renungkan bersama.

Kesimpulan

'Musim durian rontok' sengketa Pilkada ini memang membuka mata kita pada sisi lain dari demokrasi yang mungkin selama ini luput dari perhatian. 

Di satu sisi, kita melihat para pengacara yang memanfaatkan peluang bisnis dengan keahlian hukum mereka. Di sisi lain, kita melihat biaya politik yang semakin membengkak, yang berpotensi mengancam esensi demokrasi itu sendiri.

Saya harap artikel ini bisa menyajikan gambaran tentang fenomena ini. Bukan hanya sekadar menginformasikan soal fee pengacara yang fantastis, tapi juga mengajak kita untuk memikirkan implikasi yang lebih luas. 

Apakah kita akan terus membiarkan sengketa Pilkada ini menjadi panggung bisnis yang menguntungkan segelintir pihak, atau kita akan mencari cara untuk mengembalikan esensinya sebagai arena pencarian keadilan pemilu yang sesungguhnya?

*** 

Referensi:

  • Kompas. id. (2025, Januari 16). Musim ”Durian Rontok” di Sengketa Hasil Pilkada. KOMPAS. ID. https: //www. kompas. id/artikel/musim-durian-rontok-di-sengketa-hasil-pilkada
  • Kompas. com. (2024, Februari 26). Sengketa Pilkada di MK: Antara Hak Konstitusional dan Ladang Bisnis Pengacara. KOMPAS. com. https: //www. kompas. com/nasional/read/2024/02/26/09275841/sengketa-pilkada-di-mk-antara-hak-konstitusional-dan-ladang-bisnis-pengacara
  • Tempo. co. (2024, Januari 19). Sengketa Pilkada 2024: MK Siap Terima Gugatan, Pengacara Mulai Bergerilya. TEMPO. co. https: //nasional. tempo. co/read/1820412/sengketa-pilkada-2024-mk-siap-terima-gugatan-pengacara-mulai-bergerilya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun