Di tengah 'hiruk pikuk' bisnis jasa hukum sengketa Pilkada ini, ada juga pengacara yang mencoba menjaga etika.Â
Viktor Santoso Tandiasa, seorang advokat konstitusi, mengaku tidak mematok standar harga tinggi. "Kalau saya sih masih sangat memperhitungkan hal itu," katanya, merujuk pada klien yang sudah 'habis-habisan' secara finansial di Pilkada.
Viktor juga mempertimbangkan tingkat kerumitan perkara dan potensi dismissal (penolakan gugatan) untuk menentukan fee. "Maksud saya sebagai lawyer, enggak aji mumpung gitu lo. Maksudnya saya enggak langsung mau nembak," ujarnya, seperti dikutip Kompas.id.
Sikap Viktor ini mungkin menjadi oase di tengah padang pasir bisnis jasa hukum sengketa Pilkada yang cenderung komersial.
Namun, realitasnya, godaan 'aji mumpung' di momen 'durian runtuh' ini tentu sangat besar. Apalagi, seperti yang diungkapkan Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Para pihak bahkan rela mengeluarkan biaya ratusan juta hingga puluhan miliar untuk membayar jasa lawyer andal dan populer.
Fenomena 'musim durian rontok' ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam. Apakah sengketa Pilkada di MK ini sudah benar-benar menjadi arena pencarian keadilan pemilu, atau justru arena bisnis yang semakin mahal?
Fadli Ramadhanil menegaskan bahwa, mahalnya fee pengacara di MK ini membuat biaya politik untuk kontestasi pilkada menjadi semakin mahal.Â
Calon kepala daerah harus menyiapkan dana sejak awal, dari kampanye sampai sengketa di MK. Akibatnya, hanya kandidat yang punya sumber daya finansial besar yang bisa bertarung sampai akhir.
Ini tentu menjadi ironi dalam demokrasi kita. Sengketa Pilkada yang seharusnya menjadi saluran untuk mencari keadilan pemilu, justru berpotensi menjadi ajang transaksi bisnis jasa hukum yang mahal.Â
Apakah ini berarti hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa mendapatkan keadilan? Apakah suara rakyat yang sebenarnya jadi terpinggirkan oleh kalkulasi bisnis para pengacara dan politisi?Â