Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lulusan S2 di Indonesia Terjebak dalam Realita Pahit

17 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 15 Januari 2025   15:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironi lulusan S2 UGM menghadapi kenyataan pahit, dari ekspektasi tinggi hingga perjuangan bertahan hidup. 

Ketika seseorang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang magister, terutama dari universitas ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), harapan besar sering kali melekat pada pundaknya. 

Gelar S2 dianggap sebagai simbol prestasi akademik yang membuka pintu menuju karier bergengsi. 

Namun, kisah Andi dan Berta, dua lulusan S2 UGM yang justru terjebak dalam kesulitan ekonomi, mengungkap ironi menyakitkan di balik ekspektasi tersebut. 

Alih-alih bekerja sesuai kualifikasi mereka, Andi kini menjadi pengemudi ojek online (ojol) di Yogyakarta, sementara Berta bekerja sebagai asisten dosen tanpa bayaran. 

Fenomena ini bukan hanya soal pengangguran, tetapi juga tentang ketimpangan sistemik dalam dunia pendidikan dan pasar kerja Indonesia.

Ekspektasi Masyarakat yang Membebani

Di Indonesia, gelar pendidikan tinggi sering kali menjadi simbol status sosial. Masyarakat cenderung menganggap lulusan S2 sebagai individu yang "pasti sukses." Ekspektasi ini semakin tinggi jika gelar tersebut berasal dari universitas ternama seperti UGM. 

Seperti yang diungkapkan oleh Mojok.co, ekspektasi ini justru menjadi beban psikologis bagi lulusan seperti Andi. 

Setiap kali ia menerima komentar seperti "Lulusan S2 kok jadi ojol?" hatinya semakin teriris. Hal ini menunjukkan bahwa stigma sosial terhadap pekerjaan tertentu masih kuat di masyarakat kita.

Namun, apakah salah jika seorang lulusan S2 memilih pekerjaan di sektor informal? Tentu tidak. 

Dalam situasi ekonomi yang sulit dan terbatasnya lapangan kerja untuk lulusan pascasarjana, bekerja sebagai ojol adalah pilihan rasional untuk bertahan hidup. Seperti yang dikatakan Andi, "Yang penting halal dan tidak merugikan orang lain".

Realita Pasar Kerja: Ketidaksesuaian Kualifikasi dan Kebutuhan

Fenomena yang dialami oleh Andi dan Berta mencerminkan masalah struktural dalam pasar kerja Indonesia. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip GoodStats, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada 2024 mencapai 7,47 juta orang, dengan 11,28% di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi (D4 hingga S3). 

Salah satu penyebab utama adalah skills mismatch (ketidaksesuaian antara kualifikasi lulusan dengan kebutuhan industri).

Sebagai contoh, banyak perusahaan lebih memilih lulusan S1 atau bahkan SMA karena dianggap lebih "efisien" secara biaya. Lulusan S2 sering kali dianggap overqualified, sehingga perusahaan enggan memberikan gaji sesuai ekspektasi mereka. 

Hal ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar lowongan kerja di Indonesia masih didominasi oleh sektor produksi dan teknis yang lebih cocok untuk lulusan dengan kualifikasi lebih rendah.

Selain itu, persyaratan menjadi dosen yang semakin ketat juga mempersempit peluang kerja bagi lulusan S2 di bidang akademik. 

Seperti yang dijelaskan oleh Mojok.co, banyak universitas kini mensyaratkan gelar S3 untuk posisi dosen demi mengejar akreditasi institusi. 

Akibatnya, lulusan seperti Berta harus bekerja tanpa bayaran sebagai asisten dosen sembari berharap bisa melanjutkan studi ke jenjang doktoral.

Degradasi Pekerjaan: Sebuah Fenomena Baru

Salah satu aspek paling menyedihkan dari kasus ini adalah degradasi pekerjaan yang dialami oleh lulusan pascasarjana. 

Dari harapan menjadi dosen atau profesional di bidang mereka, banyak dari mereka akhirnya harus bekerja di sektor informal atau mengambil pekerjaan yang jauh di bawah kualifikasi mereka. 

Dalam kasus Andi, menjadi ojol bukanlah pilihan ideal, tetapi sebuah kebutuhan untuk bertahan hidup.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada individu tertentu tetapi juga mencerminkan tren nasional. 

Seperti yang dilaporkan oleh Liputan6, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat seiring meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahun. 

Namun, lapangan kerja yang tersedia tidak bertambah sebanding dengan jumlah pencari kerja.

Mengapa Lulusan S2 Sulit Mendapatkan Pekerjaan?

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan sulitnya lulusan S2 mendapatkan pekerjaan:

1. Kurangnya Lapangan Kerja untuk Pascasarjana 

Data dari Open Data Kota Bandung yang dikutip Liputan6 menunjukkan bahwa pada 2023 hanya ada 91 lowongan kerja untuk 197 pencari kerja dengan gelar S2 atau S3. Ketimpangan ini mencerminkan kurangnya apresiasi terhadap kualifikasi tinggi dalam pasar kerja Indonesia. 

2. Ekspektasi Gaji yang Tidak Sesuai 

Banyak perusahaan enggan merekrut lulusan S2 karena khawatir tidak mampu memenuhi standar gaji mereka. Di sisi lain, ketika lulusan mencoba menurunkan ekspektasi gaji mereka dan melamar posisi lebih rendah, mereka sering kali ditolak karena dianggap overqualified. 

3. Persyaratan Akademik yang Tinggi 

Untuk menjadi dosen, gelar S3 kini hampir menjadi keharusan. Hal ini membuat banyak lulusan S2 terjebak dalam dilema: mereka tidak bisa melanjutkan studi tanpa pekerjaan tetap, tetapi juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan tetap tanpa gelar doktoral. 

4. Stigma Sosial terhadap Pekerjaan Informal 

Masyarakat sering kali memandang rendah pekerjaan informal seperti ojol meskipun pekerjaan tersebut memberikan penghasilan yang halal dan fleksibel. 

Apa Solusinya?

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak: 

- Reformasi Kurikulum Pendidikan Tinggi 

Universitas perlu menyesuaikan kurikulum mereka dengan kebutuhan industri melalui program magang atau kerja sama dengan perusahaan. 

- Peningkatan Lapangan Kerja untuk Pascasarjana 

Pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja berkualifikasi tinggi. 

- Sosialisasi Realita Pasar Kerja 

Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa gelar pendidikan tinggi bukanlah jaminan kesuksesan instan.

- Dukungan untuk Wirausaha 

Lulusan pascasarjana dapat didorong untuk memulai usaha sendiri dengan bantuan pelatihan kewirausahaan dan akses modal usaha. 

Kesimpulan

Kisah Andi dan Berta mencerminkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan tinggi, ekspektasi masyarakat, dan realita pasar kerja. Gelar S2, yang seharusnya menjadi aset, justru menjadi beban tanpa dukungan struktural yang memadai. 

Fenomena ini menuntut evaluasi menyeluruh terhadap relevansi pendidikan dengan kebutuhan industri. 

Sebagai bangsa, kita perlu mendefinisikan ulang kesuksesan, menghapus stigma pekerjaan, dan menciptakan peluang yang adil agar setiap individu dapat berkembang sesuai potensi mereka, bukan sekadar terjebak dalam simbol gelar. 

*** 

Referensi:

  • GoodStats. (n.d.). Persentase sarjana pengangguran di RI meningkat dua kali lipat selama 1 dekade terakhir. Diakses pada 15 Januari 2025, dari [https:  //data.  goodstats.  id/statistic/persentase-sarjana-pengangguran-di-ri-meningkat-dua-kali-lipat-selama-1-dekade-terakhir-9ah2d]
  • Mojok.co. (n.d.). Lulusan S2 UGM kesulitan bertahan hidup di Jogja. Diakses pada 15 Januari 2025, dari [https:  //mojok.  co/esai/lulusan-s2-ugm-kesulitan-bertahan-hidup-di-jogja/]
  • Liputan6.com. (n.d.). Realitas pasar kerja di kota Bandung: Gelar tinggi, persaingan lebih sengit. Diakses pada 15 Januari 2025, dari [https:  //www.  liputan6.  com/regional/read/5576118/realitas-pasar-kerja-di-kota-bandung-gelar-tinggi-persaingan-lebih-sengit]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun