Mereka lebih memilih pengalaman belanja yang lebih personal dan langsung dari sumbernya. D2C menawarkan cara belanja yang lebih praktis, tanpa perantara, dan seringkali lebih terjangkau.
Social commerce juga memberi keuntungan bagi brand untuk berinteraksi langsung dengan audiens mereka melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook.Â
Fitur belanja langsung yang tersedia di media sosial ini semakin populer, karena konsumen bisa langsung membeli barang tanpa perlu meninggalkan platform tersebut. Model seperti ini tentu saja lebih menarik daripada sekadar berbelanja di marketplace.
Model Marketplace Bukalapak: Kurang Inovatif dan Sulit Bertahan
Bukalapak, pada gilirannya, menghadapi masalah besar dengan model bisnis marketplace mereka.Â
Seperti yang dijelaskan oleh Ronny Sasmita, seorang analis ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic, Bukalapak kesulitan menghasilkan keuntungan signifikan hanya dengan menghubungkan penjual dan pembeli.Â
Bukalapak seakan terjebak dalam model bisnis yang terlalu sederhana, tanpa inovasi lebih lanjut yang bisa meningkatkan pengalaman pengguna atau memberikan nilai lebih bagi konsumen dan penjual.
Ronny menyatakan bahwa "Karena hanya sebagai platform yang menghubungkan seller dan buyer, itu membingungkan Bukalapak untuk menghasilkan uang" (Tirto.id, 8 Januari 2025).Â
Padahal, dalam ekosistem digital yang terus berkembang, hanya mengandalkan model marketplace yang sudah mulai kuno seperti ini jelas tidak cukup.Â
Kita bisa lihat bagaimana Shopee dan Tokopedia sudah mulai melengkapi platform mereka dengan berbagai layanan tambahan, seperti pengiriman instan, pembayaran digital, dan bahkan layanan streaming.Â
Bukalapak, sebaliknya, tetap bertahan dengan model yang lebih sederhana.
E-Commerce Indonesia: Survival of the Fittest
Bagi saya, keruntuhan Bukalapak bukanlah sebuah kejadian yang bisa dipandang sebagai masalah internal semata, melainkan cerminan dari dinamika pasar e-commerce Indonesia secara keseluruhan.Â