Diskriminasi, ketidakadilan, dan ketimpangan akses terhadap sumber daya sering kali menjadi pemicu konflik ini.
Menurut BPMPP UMA, pendekatan yang tepat dalam mengelola konflik sosial adalah dengan mengadopsi kebijakan inklusif yang memberikan perlindungan hukum terhadap diskriminasi dan memastikan akses yang adil terhadap layanan publik.Â
Dalam konteks ini, administrasi publik tidak hanya berperan dalam menyediakan kebijakan, tetapi juga dalam menjamin bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, mendapat hak yang sama dalam mendapatkan akses terhadap berbagai layanan dasar.
Sebagai contoh, kebijakan yang melindungi hak minoritas, serta program-program yang mendidik masyarakat tentang pentingnya toleransi antar kelompok, sangat diperlukan.Â
Dengan adanya kebijakan yang lebih inklusif, diharapkan kesetaraan dan keadilan dapat tercapai, yang pada gilirannya dapat mengurangi potensi terjadinya konflik sosial yang lebih besar.Â
Pendidikan yang mengajarkan pemahaman, toleransi, dan dialog antar kelompok yang berbeda juga sangat berperan dalam mencegah konflik sosial.
Konflik Kepentingan dalam Administrasi Publik: Tantangan yang Tidak Bisa Diabaikan
Meskipun administrasi publik dapat berperan dalam penyelesaian konflik, ada satu masalah yang tidak boleh dianggap remeh, yaitu konflik kepentingan.Â
Konflik kepentingan ini bisa terjadi ketika seorang pejabat publik atau pengambil kebijakan memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab mereka.Â
Dalam konteks administrasi publik, hal ini dapat menyebabkan penyimpangan kewenangan, bahkan korupsi, yang merugikan masyarakat.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel dari Detik, ketika seorang pejabat publik terlibat dalam keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri atau kelompok tertentu, hal itu bisa merusak kepercayaan publik terhadap administrasi negara.Â
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki mekanisme yang tegas untuk menangani masalah ini, termasuk sanksi yang jelas dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.