Menurut Viva, pesawat tergelincir saat mendarat tanpa roda di Bandar Udara Internasional Muan. Kombinasi cuaca buruk dan kemungkinan masalah teknis disebut sebagai penyebab utama.
Kecelakaan ini tidak hanya merugikan maskapai dari sisi finansial---saham Jeju Air langsung anjlok---tetapi juga mencoreng reputasi maskapai berbiaya rendah.Â
Pemerintah Korea Selatan segera memerintahkan pemeriksaan seluruh armada Boeing 737-800 untuk memastikan tidak ada cacat teknis yang terabaikan.Â
Berdasarkan laporan Indozone, langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa keselamatan penerbangan adalah prioritas utama.
Ketika Politik dan Teknologi Bertabrakan
Dua kecelakaan ini menggarisbawahi satu hal penting, bahwa penerbangan modern tidak kebal terhadap pengaruh eksternal, baik itu konflik geopolitik maupun tantangan teknis.Â
Dalam kasus AZAL, kita melihat bagaimana perang dapat merusak batas-batas keamanan yang sebelumnya dianggap sakral.Â
Sebaliknya, kecelakaan Jeju Air menunjukkan bahwa meskipun konflik tidak terlibat, tantangan teknis tetap menjadi ancaman besar.
Apakah ini kebetulan? Atau mungkin ini cerminan dari ketidakmampuan dunia internasional untuk menjaga keselamatan penerbangan?Â
Yang jelas, kedua insiden ini menuntut kita untuk berpikir lebih dalam tentang hubungan antara teknologi dan politik.
Implikasi bagi Indonesia
Apa kabar keselamatan penerbangan di Indonesia? Kita tahu, Indonesia juga memiliki sejarah panjang kecelakaan pesawat. Namun, apakah kita benar-benar belajar dari insiden tersebut?
Melihat apa yang terjadi pada AZAL dan Jeju Air, ada dua pelajaran besar yang bisa kita ambil: