Wacana amnesti bagi koruptor memicu perdebatan tentang keadilan, hukum, dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.Â
Jika Anda ketinggalan berita, minggu ini wacana pemerintah Indonesia soal amnesti bagi koruptor mencuat.Â
Meskipun Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa amnesti tidak akan diberikan, ide "denda damai" untuk koruptor yang mengembalikan uang hasil curian ternyata masih dibicarakan.Â
Menariknya, ide ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan bahwa amnesti tidak melanggar konstitusi.Â
Berdasarkan UUD 1945, presiden memang memiliki hak untuk memberikan amnesti. Tapi, apakah ini memang benar solusi?
Penegasan Pemerintah dan Wacana Denda Damai
Mari kita bahas dari awal. Dalam pidatonya di Universitas Al Azhar, Kairo, Presiden Prabowo Subianto menyebutkan bahwa pengembalian uang hasil korupsi mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk pengampunan.Â
Namun, Menteri Hukum Supratman buru-buru menegaskan bahwa amnesti tidak akan diberikan kepada koruptor.Â
Di sisi lain, Yusril Ihza Mahendra memberikan perspektif berbeda, menyebutkan bahwa ide denda damai ini bisa menjadi solusi untuk memulihkan kerugian negara dengan cepat.
Tapi ada satu masalah besar. Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.Â
Dengan kata lain, koruptor tetap harus menjalani hukuman meskipun uang yang dicuri sudah dikembalikan. Hal ini membuat usulan denda damai terlihat bertentangan dengan hukum yang ada.