Memahami jebakan korelasi palsu dalam data, pentingnya konteks sosial, dan risiko interpretasi keliru.Â
Saat ini, data seolah menjadi kata kunci untuk semua hal. Apa pun masalahnya, solusinya sering kali dianggap ada pada "data". Kita cenderung mempercayai angka, grafik, atau tabel tanpa berpikir panjang.Â
"Datanya ada, jadi pasti benar," begitu anggapan umum. Tapi, benarkah demikian? Dalam banyak kasus, data justru bisa menyesatkan, terutama jika kita mengabaikan konteks sosial atau kompleksitas realitas di baliknya.
Di sinilah muncul istilah "positivisme digital", sebuah pendekatan yang menganggap data empiris sebagai sumber kebenaran mutlak.Â
Namun, menurut Dotedu.id, pendekatan ini sering kali menghasilkan jebakan yang dikenal sebagai "korelasi palsu" — hubungan yang tampak nyata tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar sebab-akibat.
Dari Positivisme ke Positivisme Digital
Positivisme bukanlah sebuah konsep baru.Â
Di abad ke-19, Auguste Comte memperkenalkan filsafat ini dengan gagasan bahwa pengetahuan hanya valid jika didasarkan pada pengalaman empiris.Â
Gagasan ini menjadi dasar bagi sosiologi modern dan terus berkembang hingga era big data dan kecerdasan buatan (AI). Dalam positivisme digital, data statistik menjadi alat utama untuk menemukan pola dan hubungan dalam berbagai fenomena.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Portal Garuda Kemdikbud, meskipun data dapat menunjukkan pola, tidak semua pola mencerminkan hubungan sebab-akibat.Â
Misalnya, peningkatan penjualan TV yang berkorelasi dengan peningkatan penjualan celana jeans bukan berarti satu menyebabkan yang lain. Hubungan semacam ini hanyalah kebetulan statistik, tanpa dasar kausalitas.